Hukum Khatib Tidak Membaca Shalawat Saat Khutbah Kedua, Sahkah?

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

– Assalamualaikum WR WB. Mohon bertanya pada Redaksi Bincang Syariah.Com tentang norma khatib nan tidak membaca shalawat saat khutbah kedua. Mengingat khatib juga manusia nan terkadang lupa alias gugup sehingga pembacaan shalawat kadang terlewati . Bagaimana khatib nan tidak membaca shalawat pada khutbah kedua, apakah sah? [Kamal Fahlevi/Bandung]

Jawaban

Walaikumsalam WR WB. Terimakasih atas pertanyaan nan diajukan. Semoga jawaban ini menjadi solusi dan bermanfaat. Sebelumnya, dalam pembacaan khutbah jumat baik khutbah pertama dan kedua mempunyai syarat dan rukun nan kudu terpenuhi. Bila rukun-rukun tidak terpenuhi maka bakal berkonsekuensi terhadap keabsahan khutbah sekaligus sholat jumatnya.

Adapun norma membaca shalawat pada khutbah kedua ustadz tetap berbeda pendapat apakah termasuk rukun sehingga tidak sah membaca khutbah tanpa shalawat, alias sekdar sunah sehigga tetap sah khutbah jumat meski tidak membaca shalawat.

Pertama, dalam ajaran Syafi’iyah nan banyak dianut umat muslim Indonesia, shalawat dalam khutbah kedua hukumnya wajib lantaran termasuk rukun. Oleh karena itu, jika shalawat tidak dibaca dalam khutbah maka khutbahnya tidak sah. Demikian pula pendapat nan kuat dari kalangan Hanabilah menempatkan shalawat sebagai rukun.

Imam Nawawi dalam kitab Minhāj al-Thālibīn menyatakan:

وَأَرْكَانُهُمَا خَمْسَةٌ: حَمْدُ اللَّهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَفْظُهُمَا مُتَعَيِّنٌ وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى وَلَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا عَلَى الصَّحِيحِ وَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ أَرْكَانٌ فِي الْخُطْبَتَيْنِ 

Artinya: “Adapun khutbah Jumat, terdapat dua khutbah sebelum shalat, dan rukun-rukun khutbah ada lima: pertama, memuji Allah; kedua, bershalawat kepada Rasulullah SAW; ketiga, nasihat tentang takwa; dan 3 rukun ini kudu terlaksana pada dua khutbah  (Imam Nawawi, Minhaj al-Talibin, [Dar al-Fikr,  cet: 1 tahun: 2005 M], halaman: 48)

Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah dalam Al-Mughni menyatakan:

 ويُشْتَرَطُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ منهما حَمْدُ اللهِ تعالى، والصَّلَاةُ على رسولِه -صلى اللَّه عليه وسلم-؛

Artinya: “Diperlukan dalam setiap khutbah untuk memulai dengan pujian kepada Allah dan shalawat atas Rasulullah SAW, (Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, [Dar al-Alam al-Kutub Riyadh – Arab Saudi, cet: 3 tahun 1997], juz 3 hal. 173).

Dalil nan diajukan kalangan Syafi’iyah sebagai landasan tanggungjawab membaca shalawat dalam khutbah kedua ialah afinitas kepada azan dan shalat. Di mana setiap kali Allah disebut, maka Nabi Muhammad juga disebutkan. . (Muhammad Khatib as-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, [Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah – Bairut, cet: 1, 1997], juz. 1 hal. 550).

Selain itu, sabda Nabi nan diriwayatkan Abu Hurairah juga menjadi dalilnya.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَجَعَلْتُ أُمَّتَكَ لَا تَجُوزُ عَلَيْهِمْ خُطْبَةٌ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنَّك عَبْدِي وَرَسُولِي».

Artinya: “Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridhainya – bahwa Nabi –  bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku menjadikan umatmu tidak bakal diterima khutbah mereka hingga mereka bersaksi bahwa engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku.” (HR. Al-Baihaqi).

Sedangkan kalangan Hanabilah selain dianalogikan, juga berargumentasi bahwa ketika Allah disebutkan maka Nabi juga disebutkan sebagaimana dalam penafsiran (QS. Asy-Syarh: 1-4).  

 عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} [الشرح: ٤] لَا أُذْكَرُ إِلَّا ذُكِرْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

Artinya: “Dari Mujahid tentang firman Allah QS. asy-Sarh: 4, “Aku (Allah) tidak disebutkan selain Engkau (Nabu Muhammad) disebutkan bersama-Ku. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah” (HR. Al-Baihaqi).

Maka menurut kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah jika khatib tidak membaca shalawat, maka khutbah dianggap tidak sah. Karena shalawat dalam khutbah, baik pertama dan kedua, adalah rukun nan tak bisa ditinggalkan.

Kedua, ajaran Hanafi beranggapan bahwa shalawat bukanlah rukun khutbah, melainkan sunah nan berfaedah sebagai penyempurna. Karena nan paling pokok dalam khutbah adalah zikir alias mengingat Allah. Dalam kitab Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, Badruddin Al-‘Aini, menyebutkan:

 فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ جَازَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ – رَحِمَهُ اللهُ –

ش: إِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي أَنْ يَجُوزَ بِمُجَرَّدِ قَوْلِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُقْرِنَ بِهِ شَيْئًا كَالْحَمْدِ وَسُبْحَانَ اللهِ، لِأَنَّهُ ذِكْرُ اللهِ، وَلَكِنَّ الرِّوَايَةَ فِي “المَبْسُوطِ” وَغَيْرِهِ أَنَّهُ إِذَا خَطَبَ بِتَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بِتَهْلِيلٍ أَوْ بِتَحْمِيدٍ أَجْزَأَهُ فِي قَوْلِهِ

Artinya: “Jika khatib hanya menyebut nama Allah (ذِكْرِ اللهِ) dalam khutbahnya, perihal itu dianggap cukup menurut Imam Abu Hanifah – semoga Allah merahmatinya. Pernyataan ini secara umum menunjukkan bahwa cukup hanya dengan mengucapkan ‘Allah’ tanpa kudu menyertakan kalimat lainnya seperti ‘Alhamdulillah’ alias ‘Subhanallah’, lantaran itu sudah termasuk zikir kepada Allah. Namun, menurut riwayat dalam kitab Al-Mabsuth dan lainnya, andaikan khatib berkhutbah hanya dengan satu kali tasbih (‘Subhanallah’), alias tahlil (‘La ilaha illallah’), alias tahmid (‘Alhamdulillah’), maka itu sudah dianggap cukup dalam pandangannya (Imam Abu Hanifah).” (Badruddin Al-‘Aini, Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, [Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah – Beirut, Lebanon cet: 1 tahun 2000 M], juz 3 hal. 58).

Selain Hanafiyah,  Mazhab Malikiyah menurut pendapat nan masyhur, juga beranggapan shalawat adalah sunah nan sangat dianjurkan dalam khutbah. Karena rangkaian dalam khutbah adalah perkataan apapun nan oleh orang Arab dianggap khutbah sebagaimana riwayat dari Ibnu al-Qasim. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Quwaitiyah, juz 19, laman 177 disebutkan.

أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَيَرَوْنَ أَنَّ رُكْنَهَا هُوَ أَقَل مَا يُسَمَّى خُطْبَةً عِنْدَ الْعَرَبِ وَلَوْ سَجْعَتَيْنِ، نَحْوُ: اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَرَ.

“Menurut ajaran Maliki, rukun khutbah adalah sekurang-kurangnya apa nan disebut sebagai khutbah oleh orang Arab, apalagi jika hanya terdiri dari dua kalimat nan berirama (saj’), seperti “Bertakwalah kepada Allah dalam perihal nan Dia perintahkan, dan jauhilah apa nan Dia larang dan cegah.”

Wahbah As-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 2 laman 1305 mengatakan mengenai khutbah dalam kalangan Malikiyah.

وندب ثناء على الله، وصلاة على نبيه، وأمر بتقوى، ودعا بمغفرة وقراءة شيء من القرآن،

“Disunahkan memuji Allah dan shalawat atas Nabi-Nya, memerintahkan nasehat takwa,  mendoakan maaf dan membaca ayat Al-Qur’an”.

Argumentasi dari Hanafiyah ialah ayat Al-Qur’an dan juga praktiknya Sayyidina Utsman nan dianggap konsensus.

{فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ} [الجمعة: 9]

Artinya: “Maka bersegeralah kalian menuju zikir (mengingat) Allah…”(QS. Al-Jumu’ah: 9)

Menurut kalangan Hanafiyah, lafal “dzikir Allah” nan terdapat dalam ayat berarti khutbah dan statusnya lafalnya absolut sehingga diberlakukan kemutlakannya. Yaitu khutbah tanpa membedakan antara sedikit alias banyak. Apakah membaca shalawat ataupun tidak.

Selain itu juga ada riwayat bahwa ketika Utsman naik mimbar pada Jumat pertama nan dia pimpin, beliau berkata: “Alhamdulillah,” kemudian beliau terdiam (yaitu, terhenti berbicara), lampau turun dan shalat. Kejadian ini disaksikan oleh para ustadz sahabat, namun tidak ada nan mengingkari perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa cukup dengan mengatakan kalimat tersebut. (Ala’ al-Din Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Bada’i’ al-Sana’i’ fi Tartib al-Shara’i’, [Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah – Bairut cet: 1 2006], juz 1 hal. 238).

Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka kasus khatib tidak membaca shalawat pada khutbah kedua, bisa dipetakan sebagai berikut:

1. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, khutbah kedua tanpa membaca shalawat dianggap tidak sah, nan berakibat pada ketidakabsahan khutbah secara keseluruhan serta ketidakabsahan shalat Jumat.

2. Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, khutbah kedua tetap sah meskipun tanpa shalawat, namun sebaiknya tetap dibaca untuk kesempurnaan khutbah.

Dalam konteks masyarakat Indonesia nan kebanyakan mengikuti Mazhab Syafi’i, jika khatib lupa membaca shalawat dalam khutbah, lampau ingat ketika tetap di mimbar alias sudah turun tapi belum lama waktunya maka hendak langsung membaca shalawat tersebut. Hal ini lantaran tidak ada syarat tertib nan kudu dilakukan dalam rukun-rukun khutbah tersebut.

Selengkapnya
Sumber Info Seputar Islam bincangsyariah
Info Seputar Islam bincangsyariah