Opini, BANGBARA.COM - Warga masyarakat beramai-ramai ke instansi desa. Kedatangan mereka bukan untuk melakukan demonstrasi.
Waktu itu pun penduduk masyarakat desa belum begitu berkawan dengan nan namanya demonstrasi.
Kedatangan mereka ke laman instansi desa, tiada lain untuk melaksanakan kewenangan pilihnya sebagai penduduk desa untuk memilih calon kepala desa.
Mereka datang untuk melaksanakan kewenangan pilihnya atas keikhlasannya untuk memilih pemimpin di desanya, bukan lantaran iming-iming untuk kepentingan pribadi.
Baca Juga: Harvey Moeis Banyak Beramal Baik Berakhir di Penjara, Begini Cerita Sang Istri Sandra Dewi
Mereka memilih seseorang untuk menjadi pemimpin di desanya atas dasar, lantaran kejujurannya, lantaran ketokohannya, dan lantaran keteladanannya alias ke panutannya.
Seseorang nan dinilai mempunyai ciri-ciri alias sifat-sifat seperti itu dalam kesehariannya, maka bakal dipilih untuk menjadi pemimpin.
Tidak banyak pula orang nan tampil mau dipilih jadi pemimpin, jika pada dirinya tidak melekat alias tidak mempunyai ciri-ciri kejujuran, ketokohan, dan keteladanan.
Baca Juga: Warga Desa di Tasikmalaya ini Setiap Hari Minggu Tumpah Serbu Pasar JB di Jalan Raya Ciawi - Singaparna, Ternyata Ini Masalahnya
Andaikan dia punya kemauan mencalonkan diri menjadi pemimpin, mengkaji diri, ngukur ka kujur dalam peribahasa Sunda.
Itu adalah dulu, jauh sebelum era reformasi nan tentu jauh berbeda dengan kondisi sekarang
Tidak sedikit orang nan mau jadi pemimpin tidak mempunyai kejujuran, tidak mempunyai ketokohan dan tidak mempunyai keteladanan.
Fakta banyak orang nan hanya mempunyai keberanian tanpa mengukur diri mencalonkan diri mau jadi pemimpin, mau menjadi wakil rakyat.
Baca Juga: Cihonje Disebut Kampung Bidadari, Ternyata Karena Banyak Wanita Cantik Alami di Sini, Yuh Intip
Tidak sedikit bromocorah, preman, pengangguran, merasa tokoh dan menokohkan diri hanya dengan modal keberanian dan mempunyai duit nekad mencalonkan diri untuk jadi pemimpin alias wakil rakyat.