Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

“Perfect Days” adalah movie drama kehidupan pengarahan Wim Wenders, nan naskahnya dia tulis berbareng Takuma Takasaki. Dibintangi oleh Koji Yakusho sebagai Hirayama, seorang tukang bersih-bersih toilet umum di Tokyo.

Film ini menjadi kerjasama produksi antara filmmaker Jepang dan Jerman. Tayang perdana di Cannes Film Festival ke-76, movie ini membawa pulang penghargaan Prize of the Ecumenical Jury dan Best Actor untuk Koji Yakusho. Kemudian masuk nominasi Best International Feature Film pada Oscar 2024 mewakili Jepang, meski akhirnya “The Zone of Interest” nan dinobatkan sebagai pemenangnya.

Slice of life alias potongan kehidupan, telah menjadi salah satu aliran nan kerap dieksekusi dengan tepat oleh Jepang. Baik melalui anime, dorama, hingga film. Beberapa berhujung membosankan, namun tidak sedikit pula sukses menangkap hal-hal sederhana dalam kehidupan menjadi lebih memikat. Mengingatkan kita bakal keelokan dalam mensyukuri dan menikmati kesederhaan dalam rutinitas nan terkadang membosankan.

“Perfect Days” adalah movie nan sempurna menghidupi tema demikian, dengan kandungan slow living dan komorebi nan menarik untuk kita pahami.

*Tulisan ini mengandung spoiler dari movie “Perfect Days”

Perfect Days

Mengikuti Rutinitas Pembersih Toilet di Tokyo Tidak Pernah Sedamai Ini

Sekilas, tidak banyak perihal alias apalagi sekuen nan bisa kita sebut sebagai ‘plot’ dalam movie Wim Wenders ini. Presentasinya seperti ‘vlog’ dari kehidupan seorang pembersih toilet umum di Shibuya, Tokyo berjulukan Hirayama.

Hirayama menekuni pekerjaannya nan dianggap sepele oleh kebanyakan orang dengan sepenuh hati. Namun lepas dari pekerjaannya nan “sepele”, dia jelas mempunyai selera musik dan literasi nan bisa jadi lebih bergengsi apalagi dari pekerja kantoran di Tokyo. Ia juga mempunyai kesukaan dengan pohon, ditunjukan dengan fotografi dan koleksi tanaman pot nan dia basahi setiap pagi sebelum pergi bekerja.

Tidak pernah kita berpikir bahwa mengikuti rutinitas seorang pembersih toilet umum bisa sedamai dan semenenangkan ini. Menghidupi judulnya, “Perfect Days” hendak mempresentasikan arti ‘hari sempurna’ tanpa menjadi anti kehidupan modern alias memandang kehidupan Hirayama dalam kemalangan.

Ini hanya sesederhana kisah seorang laki-laki nan menerima, menikmati, dan mensyukuri kehidupannya sesuai dengan standarnya sendiri. Meskipun bukan tujuan utama dari filmnya, namun ini sangat menginspirasi bagi kita nan mungkin sedang dalam keterpurukan. Jika seorang pembersih toilet saja menikmati kehidupannya, apa argumen kita untuk tidak?

Perfect Days

Slow Living dan Penejelasan Komorebi dalam Perfect Days

Ada kelas dan sesuatu nan terasa elegan memandang Hirayama dalam menikmati hobinya dalam “Perfect Days”. Mulai dari koleksi kaset musiknya nan bikin iri penikmat musik, apalagi buat kita nan sudah beranjak ke serba digital. Hirayama mendengarkan musik dari era 60an dan 70an, mulai dari The Rolling Stones, The Velvet Underground, hingga Van Morrison.

Wim Wenders menyebut bahwa setiap lagu nan diputar oleh Hirayama di pagi hari bukan pilihan acak. Ini bisa menjadi petunjuk untuk kita dalam membaca pikiran sang protagonis nan tidak banyak bicara, apalagi mengungkapkan perasaannya.

Dalam sekuen mengambil peralatan di pagi hari sebelum meninggalkan kediamannya, ada satu perincian nan cukup menarik; Hirayama selalu meninggalkan jam tangannya. Melihat rutinitasnya nan konsisten, Hirayama tak pernah mempunyai agenda alias pertemuan dengan orang lain nan membuatnya kudu memperhatikan jam.

Ada kebebasan bisa kita rasakan dari gestur ini, bahwa dia tidak terikat oleh waktu. Ia juga meninggalkan ponselnya jauh dari area rehat setelah tiba di rumah. Ia lebih memilin membaca kitab hingga kantuk menyerang. “Perfect Days” membikin kita kembali merindukan era analog nan sekarang mempunyai estetika tersendiri dan sebetulnya minim distraksi dari kehidupan kita sekarang nan serba digital.

‘Komorebi‘ juga menjadi prinsip utama nan ditanamkan dalam naskah “Perfect Days”. Komorebi sendiri adalah kiasan dalam bahasa Jepang nan berfaedah ‘sinar mentari nan menembus pepohonan’. Kita sering memandang Hirayama menatap ke langit serta komorebi di tengah-tengah rutinitasnnya. Bahwa mengabadikannya dengan kamera analognya.

Kita juga memandang komorebi pada poster movie ini. Komorebi mempunyai makna kepuasan, ketenangan nan membahagiakan ketika Hirayama melakukan hubungan nan dalam dengan alam, begitu pula kemanusiaan.

Penjelasan Ekspersi Hirayama pada Adegan Terakhir Perfect Days

“Perfect Days” tidak bakal sukses meromantisasi kehidupan pembersih toilet di Tokyo tanpa Koji Yakusho sebagai bintang utamanya. Aktor ini adalah tokoh senior dengan banyak prestasi dalam karir aktingnya di Jepang.

Ia sudah pernah bekerja sama dengan banyak sutradara ternama Jepang, salah satunya Hirokazu Kore-eda nan sedang terkenal di panggung utama saat ini. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa movie internasional seperti “Shall We Dance?”, “Memoirs of a Geisha” dan “Babel”. Namun, Yakusho mengaku dia belum pernah mengeksekusi karakter seperti Hirayama dalam “Perfect Days” sebelumnya. Namun dia akhirnya tetap bisa tampil sebagai sosok nan kharismatik dan keren dalam movie ini, daripada karakter dengan twist menyedihkan untuk mencuri hati penonton dengan air mata.

Adegan penutup tak kalah krusial dari segmen pembuka dalam suatu film, “Perfect Days” adalah salah satu movie dengan segmen penutup terbaik nan bakal membikin penonton terpikat, ini bakal jadi showcase akting dari Koji Yakusho nan tidak mau kita lupakan dalam waktu nan lama.

Seiring berlanjutkan filmnya, akhirnya kita mulai memandang emosi dari Hirayama. Pada segmen terakhir, dia memutar “Feeling Good” oleh Nina Simone, mengendarai mobilnya sembari menunjukan ekspresi berlapis. Awalnya dia tersenyum, kemudian menangis, lampau beragam emosi tercampur dan semakin susah untuk penonton artikan.

Dalam wawancaranya dengan Movieweb, Koji Yakusho menjelaskan bahwa terkadang, kita tidak hanya menangis ketika sedih alias tertawa ketika bahagia. Pendekatan Yakusho ketika menampilkan emosi demikian diawali dengan emosi bersyukur, kemudian dia menangis dan merasa bingung kenapa dirinya menangis, itu kenapa kita memandang sedikit senyum nan membingungkan.

Yakusho sendiri mau segmen tersebut lebih memancarkan angan dan rasa berterima kasih daripada emosi melankolis. Karena setelah sedikit drama dalam kehidupannya, Hirayama merasa dia bakal baik-baik saja, seperti lirik nan dilantunkan oleh Nina Simone, lagu nan secara sengaja dipilih oleh Hirayama pagi itu.

Selengkapnya
Sumber cultura
cultura