– “Indonesia ada hingga sekarang lantaran keberagaman.” Gus Dur. Itulah teladan Gus Dur tentang toleransi dan kemanusiaan.
Di kalangan masyarakat Indonesia, Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai seorang kiai, cendekiawan, pejuang kemanusiaan, dan tokoh pembaru Islam. Selain itu, diakui dan diyakini bahwa Gus Dur sebenarnya bukanlah manusia biasa. Ia tak ubahnya malaikat nan menjelma menjadi manusia.
Selain tumbuh sebagai seorang anak ustad nan sangat disegani di kalangan Nahdliyin, Gus Dur adalah sosok nan sangat luar biasa di masyarakat, bukan hanya di kalangan orang Islam tetapi juga di kalangan orang lain dari beragam agama.
Cara pandang Gus Dur telah terbukti efektif sampai saat ini, apalagi setelah dia meninggal. Tak mengherankan jika warisan Gus Dur, baik dalam karyanya maupun dalam kehidupan sehari-harinya, banyak dipelajari, dikaji, dan ditulis oleh banyak orang meskipun tidak sepenuhnya.
Salah satu pemahaman nan paling bagus tentang pemikiran Gus Dur sebagai pembimbing bangsa adalah bahwa setiap orang tidak bakal meniadakan perbedaan lantaran manusia berbeda-beda dari segi tempat, bahasa, kulit, dan lingkungan.
Karena Gus Dur mau memahami keadaan umat manusia, agar manusia hidup tenteram tanpa perbedaan keyakinan, maka perlu ada toleransi kepada semua umat beragama. Pendapat ini pasti mempunyai banyak konsekuensi, dan mungkin menjadi subjek kontroversi.
Tidak diragukan lagi, ada banyak nilai positif nan dapat diteladani dari Gus Dur, seperti kesederhanaannya, kepatuhannya, pluralitasnya, keberaniannya, integritasnya, pemikirannya, dan lainnya. Dengan kata lain, Nilai positif nan lahir darinya bukanlah hanya ucapan semata, bakal tetapi sudah mendaging.
Berbicara secara sederhana, saat ini kita sering mendengar retorika rumit dari para pemimpin alias calon pemimpin. Namun, Gus Dur mengaitkannya dengan kehidupan sehari-harinya. Itu sebabnya Gus Dur layak dianggap sebagai teladan alias apalagi pembimbing bagi anak-anak bangsa.
Silaturahmi kepada Tokoh Hindu untuk Umat Muslim di Bali
Melansir dari laman NU Online sebagaimana diceritakan Kiai Noor Hadi, saat hubungan antarumat berakidah di Pulau Dewata kurang harmonis, Gus Dur datang ke Bali. Setiap ada kunjungan ke Bali, Gus Dur tidak pernah menginjakkan kaki di instansi NU setempat. Ketua Umum PBNU 1984-1999 itu lebih memilih berjamu ke kediaman raja-raja Bali dan “menitipkan” umat Islam.
Mungkin Gus Dur berpegangan pada ayat al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan Anda dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan Anda berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar Anda saling mengenal. Sesungguhnya nan paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang nan paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Dengan sikap Gus Dur nan demikian, tak mengherankan jika orang sekelas ustad Noor Hadi pun merasa kehilangan lantaran belum ada sosok mirip Gus Dur nan bisa mengharmoniskan antar umat berakidah di Bali.
Tak mengherankan jika ustad Noor Hadi merasa kehilangan lantaran sikap Gus Dur. Ini lantaran belum ada sosok seperti Gus Dur nan bisa mengharmoniskan umat berakidah di Bali.
“Setiap datang ke sini, Gus Dur mesti datang ke tempatnya raja-raja, kemudian memanggil kita-kita datang ke tempat raja-raja. Dikenalkan oleh Gus Dur ini rais syuriyah, ini ketua tanfidziyah. Itu bertindak pada waktu Gus Dur di PBNU, Ketua Dewan Syuro PKB sampai jadi Presiden,” kenangnya.
Tentu saja, langkah Gus Dur tersebut, sambung Kiai asal Demak, Jawa Tengah itu, membikin masyarakat Bali khususnya raja-raja mengagumi Gus Dur dan akhirnya bisa menerima kehadiran umat Islam.
Hemat penulis, Gus Dur selalu mempunyai kemauan untukcmencari tempat baru dan berkumpul dengan beragam perbedaan, seperti obrolan tentang toleransi dan pluralisme.
Ada kemungkinan bahwa Gus Dur, sebagai tokoh Islam, mempunyai pemahaman tentang toleransi nan berbeda dari perspektif norma Islam dan positif. Pendek kata, dia mempunyai pemahaman tesendiri. Atas dasar ini sangat wajar dan layak jika Gus Dur ditempatkan sebagai intelektual muslim progresif dan kritis.
Mengedepankan kemanusiaan
Gus Dur beranggapan bahwa aliran Islam adalah aliran nan sempurna lantaran Islam telah menetapkan prinsip-prinsip umum secara menyeluruh sehingga dapat menjadi pedoman dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan semua aspek kehidupan mereka.
Lebih dari itu, Gus Dur juga beranggapan bahwa Islam adalah sebuah kepercayaan alias aliran nan mengandung nilai-nilai luhur dan universal nan dapat berubah seiring berjalannya waktu. Itu sebabnya, Gus Dur percaya bahwa toleransi ditujukan kepada semua orang.
Dalam perihal ini, bukan hanya kepada kaum muslim, melainkan ke semua umat manusia agar semua orang dapat menjunjung tinggi kesetaraan dan mengedepankan dimensi kemanusiaan dalam semua hal.
Bahwa perbedaan bukanlah sesuatu nan dilarang oleh agama. Sama sekali tidak. Justru, nan dilarang oleh kepercayaan adalah lahirnya perpecahan dan perselisihan akibat adanya perbedaan-perbedaan.
Untuk itulah, Gus Dur selalu menekankan kepada umat Islam agar tidak menganggap perbedaan sebagai bencana; sebaliknya, mereka semestinya memandang perbedaan sebagai hidayah dan kekuatan nan dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Wallahu a’lam bisshawab.