– Tak terasa, tinggal menghitung hari, bulan Ramadhan bakal segera berakhir. Begitu juga seremoni Idul Fitri yang sudah nyaris dirayakan. Tentu saja, keduanya memberikan akibat positif nan luar biasa kepada umat manusia, khususnya umat Islam.
Dan, pada dua moment inilah umat Islam berlomba-lomba meningkatkan ibadah dan ketakwaan. Namun, terkadang apa nan telah diraih sudah dirasa cukup dan tidak bersambung dibulan berikutnya. Lalu bagaimanakah sebaiknya nan dilakukan pasca Ramadhan berhujung dan Idul Fitri? Apakah ketakwaan nan sudah didapatkan sudah cukup bagi umat Islam?
Syahdan. Sesuatu nan kita sudah ketahui alias sudah meraihnya, sebenarnya tetap bisa untuk ditingkatkan. Dalam al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 136 Allah Swt. berfirman:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْۤ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰٓئِكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًاۢ بَعِيْدًا
Artinya: “Wahai orang-orang nan beriman! Tetaplah beragama kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al-Qur’an) nan diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab nan diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.” (QS. An-Nisa’ [4]: 136).
Lha, jika sudah beragama kenapa diajak lagi beriman? Maksudnya adalah tingkatkan keimananmu. Nabi Saw. dikenal sangat bersih, lantaran itu beliau senang memakai baju putih. Tentu saja, ini disebabkan, misalnya baju putih terkena sedikit noda maka langsung kelihatan. Berbeda dengan baju hitam.
Kendati demikian, Allah Swt. berpesan dalam Surat Al-Mudatsir ayat 4, Allah Swt. berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS. Al-Muddassir [74]: 4).
Sederhananya, pakaianmu bersihkan. Yakni, pelihara dan tingkatkan kebersihan itu. Nabi Saw. bekerja antara lain memberi hidayah, bakal tetapi Nabi juga seperti manusia pada umumnya tetap bermohon setiap hari “ihdinas shiraathal mustaqiim”. Kenapa demikian? Karena Allah Swt. menambah hidayahnya untuk orang-orang nan sudah dapat hidayah. Dalam al-Qur’an Surat Maryam ayat 76 dinyatakan:
وَيَزِيْدُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اهْتَدَوْا هُدًى ۗ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ مَّرَدًّا
Artinya: “Dan Allah bakal menambah petunjuk kepada mereka nan telah mendapat petunjuk. Dan kebaikan amal nan kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS. Maryam [19]: 76).
Begitu juga setelah puasa Ramadhan berakhir. Misalnya kita sudah meraih takwa. Namun nan perlu diketahui, bahwa takwa bermacam tingkat. Dalam al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 93 dikatakan:
لَـيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْۤا اِذَا مَا اتَّقَوا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوا وَّاَحْسَنُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Tidak berdosa bagi orang-orang nan beragama dan mengerjakan amal tentang apa nan mereka makan (dahulu), andaikan mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan melakukan kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang nan melakukan kebajikan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 93).
Kata Quraish Shihab, kita mau hidayah, ditambah hidayah dan ditambah lagi hidayah. Kita mau dapat ilmu, lampau mendapat tambahan pengetahuan dan mendapatkan tambahan lagi, dan begitu seterusnya. Kalau demikian persoalannya, maka berfaedah bukan sekedar mempertahankan apa nan sudah kita dapatkan, bakal tetapi meningkatkan lagi apa nan sudah kita dapat.
Pendek kata, keliru jika kita hanya sekedar mempertahankannya. Makin keliru lagi jika berkurang apa nan pernah kita dapatkan. Itu sebabnya dalam al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 92 ditegaskan:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًا ۗ تَتَّخِذُوْنَ اَيْمَانَكُمْ دَخَلًاۢ بَيْنَكُمْ اَنْ تَكُوْنَ اُمَّةٌ هِيَ اَرْبٰى مِنْ اُمَّةٍ ۗ اِنَّمَا يَبْلُوْكُمُ اللّٰهُ بِهٖ ۗ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَـكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ مَا كُنْـتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
Artinya: “Dan janganlah Anda seperti seorang wanita nan menguraikan benangnya nan sudah dipintal dengan kuat, menjadi bercerai-berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai perangkat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan nan lebih banyak jumlahnya dari golongan nan lain. Allah hanya menguji Anda dengan perihal itu, dan pasti pada hari Kiamat bakal dijelaskan-Nya kepadamu apa nan dulu Anda perselisihkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 92).
Ada wanita gila dalam cerita lama. Ia menenun busana berhari-hari. Akhirnya, setelah sarungnya siap pakai, entah apa nan ada dipikirannya (maklum orang gila), dia membukanya lagi tenunan sarung itu sehelai demi sehelai setelah ditenun. Inilah nan paling buruk. Orang berkata, jika lebaran kita memakai busana baru. Namun, sebenarnya, busana baru nan lebih baik itu adalah busana rohani dan jasmani. Walibasut taqqa dalika khair
Lalu apa sebenarnya hikmah dari ini?
Quraish Shihab mengatakan, jangan pernah memandang apalagi mengandalkan kebaikan Anda. Sebab, pertama, siapa tahu kebaikan Anda tidak memenuhi syarat nan dikehendaki Tuhan. Boleh jadi ada riya’ nan mengalir di dalam darah tanpa kita ketahui. Perumpamaan riya’ dilukiskan seperti semut hitam melangkah ditengah malam nan gelap di atas batu nan licin. Tak heran, jika ulama-ulama dulu sangat takut sekali jika amalnya tidak ikhlas.
Kedua, tidak ada nan masuk surga lantaran amalnya. Kecuali Nabi berbicara “Tidak seorang pun masuk surga lantaran amalnya”. Tiba-tiba ada nan bertanya kepada Nabi “Engkau pun tidak wahai Nabi?” Nabi menjawab “Saya pun tidak, selain jika Allah melimpahkan rahmatnya.” Itu pula sebabnya, mereka orang-orang dulu mengajarkan angan “Ya Allah pengampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosaku. Dan rahmat-Mu lebih kuandalkan dari amalanku.”
Sedikit diterima, Allah Swt itu syakur, menerima nan sedikit dan menganggapnya sangat banget. Inilah angan kita. Dengan selesainya Ramadhan, jangan sekali-kali menghandal amal, bakal tetapi kita disuruh menanamkan optimisme di dalam jiwa kita.
Dalam perihal ini, kita mau meningkatkan diri dan keimananan kita, dari takwa nan pertama, kedua, dan seterusnya. Tentu saja dengan upaya nan diusahakan, karena tanpa upaya maka tidak bisa. Kita mau menaiki anak tangga, dan jangan mandek di anak tangga nan ketiga. Usahalah naik, jangan turun (jika sudah turun susah naik).
Semakin tinggi puncak nan mau didaki, maka bakal semakin sulit. Seorang sufi besar berbicara “Perjalanan menuju Allah itu adalah perjalanan mendaki”. Karena itu mereka berbicara “Jangan membawa beban”. Beban dalam perihal ini adalah dosa kepada Allah Swt. dan kepada makhluknya. Semakin mendaki Anda, maka semakin banyak pula sorak-sorai nan menakut-nakuti Anda. Makin tinggi semakin pula soraknya merayu Anda untuk turun.
Akan tetapi, katanya, jika Anda melanjutkan perjalanan, pada saatnya Anda bakal menemukan bahwa rupanya dihadapan itu ada rambu-rambu jalan nan memberitahukan Anda “Jangan lewat di sini”. Dan, rupanya ada tempat peristirahatan, ada air-air bening untuk Anda minum pada saat sampai kepada tahapannya.
Dengan demikian, ketika Anda mendaki untuk mencapai puncak, maka Ar-Rahman mengirim kendaraan buat Anda. Jadi persoalannya adalah tekad. Persoalannya adalah mengetahui gimana caranya untuk sampai?Para ustadz berkata, jika Anda mau mencapai sukses, maka terlebih dulu Anda kudu mengetahui potensi diri, kelemahan diri, tahu lawan, tantangan, tak terkecuali mengetahui tentang kesempatan dalam segala hal. Misalnya dalam berbisnis dan berjuang juga kudu tahu keistimewaannya. Jika Anda tidak tahu maka Anda tidak bakal berhasil.
Demikian keterangan tentang setelah Ramadhan berakhir, dan upaya nan bisa dilakukan agar konsisten. Semoga kita semua dapat memanfaatkan momentum Ramadhan untuk menjadi pribadi nan lebih baik dan bertaqwa kepada Allah SWT. Pun menjadi pribadi baik setelah Ramadhan berakhir. Wallahu a’lam bisshawaab.