Sejak diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), rumah sakit di Indonesia menghadapi tantangan baru dalam mengelola sistem pembiayaan jasa kesehatan. Tantangan terbesar Fasilitas Kesehatan adalah gimana menyusun sistem remunerasi master nan adil, transparan, dan memotivasi, di tengah keterbatasan tarif pembayaran berbasis INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups). Artikel ini membahas beragam tantangan nan dihadapi manajemen rumah sakit, khususnya kepala dan master manajerial, dalam menyusun skema remunerasi master nan berkepanjangan di era JKN. INA-CBGs merupakan skema nan digunakan hingga saat ini pada program BPJS sebagai sistem Pembayaran dengan tarif paket. Menurut Permenkes RI No.76 Tahun 2016 tentang Pedoman Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) dimana dalamnya sudah diatur terkait kelompok-kelompok penyakit nan dimaksud dan dibuat dalam corak kode. Pada dasarnya terdapat dua jenis sistem pembayaran pelayanan kesehatan, ialah retrospektif payment dan prospektif payment. Retrospektif payment merupakan metode pembayaran nan dilakukan atas jasa kesehatan nan diberikan kepada pasien berasas setiap aktifitas jasa nan diberikan. Hal ini berfaedah semakin banyak layanan nan diterima, maka semakin mahal biaya nan kudu dibayarkan. Kemudian untuk prospektif payment adalah metode pembayaran nan dilakukan di atas jasa kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Di Indonesia, dalam Jaminan Kesehatan National (JKN) menganut metode pembayaran prospektif payment. Dimana tarif sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dalam corak paket biaya sesuai dengan diagnosa dan jenis penyakitnya. INA-CBGs menerapkan tarif tetap untuk setiap pemeriksaan dan tindakan medis. Namun dalam praktiknya, biaya riil untuk penanganan pasien sering kali jauh lebih tinggi, apalagi untuk kasus-kasus komplikasi. Hal ini menyebabkan margin untung nan sempit alias apalagi merugi dan berkapak pada besaran insentif nan bisa diberikan kepada dokter. Sistem remunerasi master berbasis INA-CBGs cenderung mendorong peningkatan volume jasa untuk menjaga arus kas rumah sakit. Namun, jika remunerasi master hanya dihitung dari jumlah tindakan, maka potensi penurunan kualitas jasa dan kelelahan master bakal meningkat. Dengan lebih dari 80% pasien dibiayai BPJS di banyak rumah sakit, ketergantungan pada tarif INA-CBGs membikin elastisitas anggaran menjadi sangat terbatas. Hal ini menyulitkan rumah sakit untuk memberi insentif nan kompetitif, apalagi dalam menarik alias mempertahankan master ahli berkualitas. Lantas, gimana solusinya? Supaya rumah sakit tetapi bisa memberikan pelayanan kesehatan nan maksimal kepada pasien. Disisi lain, juga tetap menjaga kestabilan finansial rumah sakit dengan memberikan remunerasi nan sesuai dan setara bagi master nan bertugas. Baca Juga : Cara Menentukan Remunerasi Dokter di Klinik Kecantikan Berikut, mungkin bisa menjadi solusi strategis bagi para manager rumah sakit nan bisa diambil untuk mengatasi persoalan diatas Alih-alih bayar master berasas total pendapatan kasus, rumah sakit dapat menerapkan model remunerasi berbasis keahlian (performance-based pay) dan kontribusi nyata terhadap pelayanan, seperti: Lakukan costing unit pelayanan secara detail (unit cost analysis), lampau tetapkan tarif internal sebagai dasar alokasi jasa medis. Ini membantu rumah sakit membikin simulasi berapa maksimal jasa master nan tetap kondusif secara finansial. Misal: Jika tindakan appendektomi menghasilkan margin Rp 1 juta, maka jasa master bisa ditetapkan 30-40% dari margin tersebut. Tingkatkan kecermatan dan optimasi coding agar rumah sakit tidak kehilangan potensi pendapatan. Ini mencakup: Dari pemaparan diatas, kunci utamanya adalah keseimbangan. Dimana rumah sakit tetap bisa memberikan remunerasi nan setara dan transparan, tetapi tetap dalam pemisah kepantasan finansial rumah sakit. Maka dari itu, dibutuhkan info nan kuat serta sistem nan mumpuni untuk bisa membantu pengambilan keputusan nan tepat. Untuk mendukung rumah sakit dalam menyusun sistem remunerasi dokter nan setara dan sesuai dengan keterbatasan tarif INA-CBGs, Trustmedis menghadirkan fitur unik nan memungkinkan kalkulasi komponen jasa medis secara otomatis berasas unit cost, margin tindakan, serta parameter keahlian dokter. Dengan sistem nan terintegrasi, manajemen rumah sakit dapat mengelola insentif secara transparan, efisien, dan tetap menjaga kesehatan finansial rumah sakit. Referensi : Monica, Rizky D., Fathia Mawar, Yeti Suryati, Intan Pujilestari, Dini Rohmayani, dan Ayu Hendrati. 2021. Analisis Perbedaan Tarif Riil Rumah Sakit dengan Tarif INA-CBGs Berdasarkan Kelengkapan Medis Pasien Rawat Inap pada Kasus Persalinan Sectio Caesarea guna Pengendalian Biaya Rumah Sakit TNI AU Dr. M. Salamun Bandung. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia. Hal: 91-96 Vol. 9 No. 1 Permenkes RI No.76 Tahun 2016 tentang Pedoman Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) Suhartoyo. 2018. Klaim Rumah Sakit Kepada BPJS Kesehatan Berkaitan dengan Rawat Inap dengan Sistem INA-CBGs. Administrative Law & Governance Journal. Hal: 79-92 Vol. 1Skema Pembayaran Program BPJS
Permasalahan nan Terjadi Pada Penetapan Tarif INA-CBGs Saat Ini
Tarif INA-CBGs Tidak Selalu Sesuai dengan Biaya Riil di Rumah Sakit
Ketidakseimbangan Antara Volume Pasien dan Kualitas Pelayanan
Keterbatasan Anggaran Rumah Sakit
Skema Remunerasi Berbasis Kinerja dan Kontribusi
Analisis Biaya Unit Cost dan Tarif Internal Rumah Sakit
Optimalisasi Clinical Coding dan Verifikasi Klaim
6 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·