- Berikut ini tulisan tentang pembuatan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Manusia merupakan makhluk Tuhan nan diciptakan dengan raga nan sebaik-baiknya dan rupa nan seindah-indahnya dengan dilengkapi
Berbagai organ psikofisik nan spesial seperti panca indera dan hati. Hal ini agar manusia berterima kasih kepada Allah nan telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu. Allah Swt. Berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْۤ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam corak nan sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin [95]: 4).
Huruf na pada kata kholaqo diatas menunjukan kepada makna jama’ alias banyak, tetapi bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Allah sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk dirinya.
Penggunaan na diatas mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah dalam pembuatan manusia. Pembentukan bentuk ini pun disesuaikan dengan fungsinya.
Keistimewaan manusia
- Advertisement -
Manusia mempunyai keistimewaan nan melampaui binatang, ialah akal, pemahaman dan corak fisiknya nan tegak lurus. Secara lebih rinci keistimewaan-keistimewaan nan dianugerahkan Allah kepada manusia antara lain adalah keahlian berpikir untuk memahami alam semesta, dirinya sendiri, dan memahami tanda-tanda keagungan Allah.
Keistimewaan-keistimewaan ini diberikan bukan tanpa tujuan dan kegunaan tertentu, secara dunia tujuan dan kegunaan pembuatan manusia itu dapat diklasifikasikan kepada dua.
Menjadi khalifah
Kita tahu, keberadaan khalifah di muka bumi awalnya adalah sebuah wacana dari sang Khalik, nan menciptakan khalifah untuk beragama kepadanya dan menjaga keseimbangan segala ciptaannya. Nama khalifah telah ada ketika manusia pertama hendak diciptakan, penciptaannya pun mengalami pro dan kontra dari makhluk lain, tergambar jelas dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ ۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ قَالَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang nan merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa nan tidak Anda ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Di antara petunjuk nan dibebankan kepada manusia adalah memakmurkan kehidupan di bumi.
Karena banget mulianya manusia sebagai pengemban petunjuk Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Khalifah dan kewajibannya termaktub dalam al-Qur’an. Allah Swt. berfirman:
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْۤا اِلَيْهِ ۗ اِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
Artinya: “Dan kepada kaum Samud (Kami utus) kerabat mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, lantaran itu mohonlah pembebasan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud [11]: 61).
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, kata khalifah dalam ayat ini mempunyai dua makna. Pertama, adalah pengganti, ialah pengganti Allah Swt. untuk melaksanakan titahnya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin nan kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya memakmurkan, dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, maka dapat diartikan bahwa, manusia telah menerima mandat dari Allah untuk menjadi penguasa yang mengatur bumi dengan segala isinya dengan tujuan memakmurkan kehidupan di bumi.
Tugas kekhalifahan ini didukung oleh kewenangan dan keahlian manusia nan diberikan oleh Allah. Kewenangan mengelola bumi telah melekat pada manusia sejak awal pembuatan manusia, sedang keahlian untuk menjadi khalifah memerlukan sebuah proses berilmu pengetahuan.
Menjadi abdillah
Konsep abdillah merujuk pada tugas-tugas perseorangan manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam corak pengabdian ritual kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Termaktub dalam al-Qur’an surat Az-Zariyat ayat 56. Allah Swt. Berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan hantu dan manusia melainkan agar mereka beragama kepada-Ku.“ (QS. Az-Zariyat [51]: 56).
Dalam pemenuhan fungsinya sebagai hamba, memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas di mana tercapainya kedekatan diri dengan Allah. Bila tingkat ini sukses diraih, maka seorang hamba bakal bersikap tawadhu’, tidak arogan dan bakal senantiasa pasrah pada semua perintah Allah.
Secara luas, konsep abdillah sebenarnya meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah.
Pada dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah nan jika dipahami, dihayati, dan diamalkan maka bakal mengantarkan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna alias al-insan alkamil.
Pandangan di atas merupakan visi filosofis dan antropologis nan dinukilkan Allah dalam al-Qur’an nan telah mendudukkan manusia di alam semesta ini ke dalam dua kegunaan pokok, ialah khalifah dan abdillah.
Pandangan kategorikal demikian tidak mengisyaratkan suatu pengertian nan bermotif dualisme-dikotomik, tetapi menjelaskan muatan fungsional nan kudu diemban manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.
Sebenarnya, ada banyak konsep tentang khalifah dan abdillah, namun tidak untuk dipertentangkan, melainkan keduanya kudu diletakkan sebagai suatu kesatuan nan tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya mempunyai relasi dialektik nan bakal mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya.
Demikian penjelasan mengenai tentang pembuatan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab. [Baca juga: Karakteristik Pendidik Ideal dalam Al-Qur’an]