Muhasabah Diri, Jalan Menuju Kemuliaan Hakiki di Sisi Allah

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

- Dalam perjalanan hidup nan penuh hiruk-pikuk dunia, sering kali manusia terlena oleh gemerlapnya fatamorgana kehidupan. Jabatan, harta, pujian, dan ketenaran seringkali dianggap sebagai tolok ukur kemuliaan. Padahal, hakikat kemuliaan sejati bukan terletak pada apa nan tampak oleh mata manusia, melainkan pada penilaian Allah terhadap hati dan kebaikan seorang hamba. Inilah nan menjadikan muhasabah diri—introspeksi spiritual—sebagai jalan krusial menuju kemuliaan asasi di sisi-Nya.

Muhasabah berasal dari kata hisab, nan berfaedah perhitungan. Dalam konteks spiritual Islam, muhasabah berfaedah menghitung, mengevaluasi, dan menilai diri sendiri atas segala amal, niat, dan sikap nan telah dilakukan. Imam Al-Ghazali menyebut muhasabah sebagai cermin nan bisa menunjukkan noda dan cela dalam jiwa, agar bisa dibersihkan sebelum datangnya hari pembalasan.

Muhasabah bukan sekadar mengingat kesalahan, tetapi juga langkah untuk menyusun kembali arah hidup dengan lebih bijak dan sadar. Intropeksi diri itu bukan hanya buat orang nan sedang punya masalah besar. Justru, di saat hidup terasa biasa-biasa aja alias malah terlalu sibuk, itu momen nan pas buat refleksi.

Berbicara intropeksi diri, Allah telah memerintahkan kepada kita hamba-Nya untuk selalu bermuhasabah diri. Hal ini terdapat dalam Qur`an surat Al-Hasyr ayat 18;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya; “Wahai orang-orang nan beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa nan telah diperbuatnya untuk hari besok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa nan Anda kerjakan.” (QS. Al-Hasyr ayat 18).

Menurut Imam At-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid XXIII laman 299, ayat ini berisi perintah nan sangat jelas untuk melakukan muhasabah atas semua perbuatan nan telah dikerjakan sepanjang hidup. Beliau menjelaskan:


 “ولينظر أحدكم ما قدّم ليوم القيامة من الأعمال، أمن الصالحات التي تنجيه أم من السيئات التي توبقه؟”

Artinya: “Setiap orang hendaknya memperhatikan apa nan telah dia kerjakan untuk hari kiamat, apakah dari kebaikan saleh nan bakal menyelamatkannya, alias dari keburukan nan bakal membakarnya?” 

Penekanan nan disampaikan At-Thabari menunjukkan bahwa manusia kudu menyadari akibat dari setiap kebaikan perbuatannya, baik alias buruk. Perhitungan diri bukan sekadar menyesali perbuatan di masa lalu, tetapi juga merupakan sarana untuk memperbaiki diri dan memperkuat tekad dalam menjalani kehidupan nan lebih baik sesuai dengan aliran Islam.

Dalam proses muhasabah, seseorang diajak untuk bertanya pada dirinya sendiri: Apakah hari ini lebih baik dari kemarin? Sudahkah kebaikan kita diterima oleh Allah? Sudahkah kita memohon pembebasan atas dosa-dosa kita? Kesadaran ini krusial agar seorang Muslim tidak larut dalam kelalaian dan tetap berada di jalan nan lurus.

Dengan demikian, muhasabah merupakan corak ketaatan dan corak nyata dari ketakwaan kepada Allah. Setiap Muslim kudu terus mengevaluasi dan memperbaiki diri demi meraih kebahagiaan bumi dan akhirat. Karena pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Hasyr ayat 18, semua kebaikan bakal diperiksa dan dipertanggungjawabkan. 

Muhasabah Diri Sebagai Ikhtiar Meraih Kemuliaan di Sisi Allah Swt

Muhasabah diri adalah perkara nan dituntut (bagi setiap muslim), lantaran dia merupakan penyelenggaraan terhadap perintah Allah, sebagai penambah pahala, berkompetisi dalam kebaikan, mencegah diri dari hawa nafsu dan syahwat, penghalang dari keburukan dan peneladanan terhadap para Nabi `alaihimus salam.

Muhasabah diri bisa mencakup kepada dua macam; muhasabah sebelum beramal, alias muhasabah setelah beramal.

Muhasabah sebelum beramal, sebelum kita melakukan sebuah amalan, krusial sekali buat merenung sebentar, apakah kita bisa melakukannya, seperti puasa sunnah alias qiyamullail? Kalau iya, lanjutkan. Tapi jika belum sanggup, jangan dipaksakan.


Lalu, coba pikirkan juga: Apakah ibadah ini membawa kebaikan untuk hidup di bumi dan alambaka kita, alias justru sebaliknya? Dan nan paling penting, niatnya lantaran siapa? Kalau lantaran Allah, teruskan. Tapi jika hanya lantaran mau dilihat orang lain, lebih baik ditinggalkan.

Adapun muhasabah setelah beramal, seperti merenungkan sejauh mana diri kita telah menjalankan ketaatan kepada Allah. Hal ini mencakup kesadaran atas kelalaian dalam beramal ibadah kepada Allah Swt.

Apakah diri kita sudah betul-betul melakukan ketakwaan kepada Allah?, Apakah kita bakal terus-menerus lalai dari perintah-Nya?, pertanyaan muhasabah ini perlu untuk kita lakukan sebagai corak perenungan atas perlakuan kita kepada Allah.

Dengan begitu, kita bakal ingat bahwa tujuan hidup kita adalah untuk beragama kepada Allah dengan begitu kita bakal terus ingat kepada Allah dengan zikir kita, sholat kita dan amal-amal baik lainnya, hingga akhirnya kita bakal meraih kemuliaan di sisi Allah Swt.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya; “Dan Aku tidak menciptakan hantu dan manusia melainkan agar mereka beragama kepada-Ku.”(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Karena itu, mari kita melatih diri untuk bermuhasabah dan mengevaluasi setiap langkah, memperbaiki kekeliruan, dan memperbanyak kebaikan saleh. Dengan muhasabah, kita bisa meringankan hisab di akhirat, menapaki jalan nan lurus dengan lebih yakin, serta meraih ridho Allah nan menjadi tujuan utama hidup ini.

Muhasabah bukan sekadar refleksi, tapi bekal untuk keselamatan. Muhasabah adalah sirine hati agar kita tidak terlena dalam gemerlap bumi dan lupa pada kampung akhirat. Dan siapa nan istiqamah dalam muhasabah, insyaAllah bakal berbahagia, tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Demikian penjelasan tentang muhasabah diri sebagai ikhtiar meraih kemuliaan di sisi Allah Swt. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam. [Baca juga: Muhasabah Diri Menurut Muhasibi].

Selengkapnya
Sumber Info Seputar Islam bincangsyariah
Info Seputar Islam bincangsyariah