Moderasi Beragama: Idealisme yang Tersandung Realitas

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

– Moderasi berakidah di Indonesia, nan digaungkan oleh Kementerian Agama sejak era Lukman Hakim Saifuddin dan resmi menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, datang dengan janji besar.

Konsep ini diharapkan bisa menjaga harmoni di tengah keberagaman luar biasa sebuah negara kepulauan nan terbentang dari Sabang hingga Merauke. Dengan mengusung nilai-nilai toleransi, inklusivitas, dan kesetiaan pada konstitusi, moderasi berakidah tampak sebagai pendekatan ideal untuk meredam intoleransi, radikalisme, dan kekerasan berbasis agama.

Namun, di kembali ambisi mulia tersebut, pelaksanaannya justru memperlihatkan sejumlah kelemahan dan tantangan serius nan membuatnya terkesan rapuh, apalagi berpotensi kandas mencapai tujuan awal.

Salah satu kelemahan mendasar adalah minimnya pemahaman masyarakat terhadap prinsip moderasi beragama. Meskipun telah dijadikan program nasional, upaya sosialisasi tetap jauh dari kata menyeluruh dan masif.

Banyak kalangan, terutama di wilayah terpencil alias organisasi nan kurang terjangkau informasi, belum betul-betul memahami apa nan dimaksud dengan “moderat” dalam konteks beragama.

Akibatnya, konsep ini sering kali hanya bergaung di kalangan elit alias birokrat, tanpa menyentuh akar rumput secara signifikan. Padahal, tanpa kesadaran kolektif nan kuat, susah membayangkan gimana parameter utama seperti toleransi dan penolakan terhadap kekerasan bisa tercapai.

Kelemahan ini semakin diperparah oleh rendahnya kualitas pendidikan kepercayaan di banyak tempat, nan tetap condong menanamkan sikap eksklusif, dogmatis, dan literalis, alih-alih membuka wawasan inklusif nan sejalan dengan semangat moderasi.

Tantangan lain nan tak kalah pelik adalah maraknya klaim kebenaran sepihak nan menjadi pemicu intoleransi. Indonesia, dengan lebih dari 1.300 suku dan keragaman kepercayaan nan diakui—Islam 87,1%, Kristen 6,9%, Katolik 2,9%, Hindu 1,6%, Buddha 0,7%, dan Khonghucu 0,05% berasas sensus 2010—memiliki potensi bentrok nan tinggi jika perbedaan tidak dikelola dengan bijak.

Sikap menganggap diri paling betul dan menyalahkan pihak lain menjadi peledak waktu nan susah dinetralkan oleh moderasi beragama. Bahkan, ada golongan nan menafsirkan kepercayaan secara ekstrem, seperti mendukung buahpikiran khilafah alias pembentukan negara baru, nan jelas-jelas bertentangan dengan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Realitas ini menunjukkan bahwa moderasi berakidah belum bisa menangani akar masalah pemahaman keagamaan nan menyimpang, nan justru bisa menakut-nakuti keutuhan bangsa.

Kegagalan penerapan juga terlihat dari tetap maraknya tindakan kekerasan atas nama agama, baik dalam corak bentuk maupun verbal. Meskipun moderasi berakidah secara tegas menolak segala corak kekerasan, realita di lapangan berbicara lain.

Kasus intoleransi, diskriminasi, hingga serangan terhadap tempat ibadah tetap sering terjadi, menggambarkan jarak nan lebar antara teori dan praktik. Lemahnya penegakan norma menjadi aspek kunci nan memperburuk situasi.

Pelaku kekerasan kerap lolos dari jeratan hukum, sementara korban pelanggaran kebebasan berakidah kehilangan perlindungan nan semestinya dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29. Kondisi ini menegaskan bahwa moderasi berakidah lebih banyak berputar pada retorika bagus daripada tindakan nyata nan menjamin kewenangan berakidah setiap warga.

Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi info menambah kompleksitas tantangan. Di satu sisi, teknologi membuka kesempatan untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi secara luas dan cepat.

Namun, di sisi lain, dia juga menjadi saluran nan efektif bagi hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda radikalisme nan susah dibendung. Tanpa sistem penyaringan nan memadai, masyarakat—terutama generasi muda—rentan terpapar narasi ekstrem nan bertolak belakang dengan semangat moderasi.

Pemerintah memang telah menyusun peta jalan dan melibatkan beragam lembaga seperti Bappenas, BNPT, hingga Kemenkominfo, tetapi langkah-langkah ini tetap terasa kurang kuat untuk menghadapi arus info negatif nan begitu masif di era digital.

Meskipun moderasi berakidah mempunyai kelebihan seperti meningkatkan toleransi, memperkuat komitmen nasional, dan mendorong sikap tengah nan menghindari ekstremisme, capaiannya tetap jauh dari harapan. Kelemahan dalam sosialisasi, pendidikan kepercayaan nan tak mendukung, serta tantangan seperti intoleransi, kekerasan, dan akibat teknologi menunjukkan bahwa konsep ini lebih banyak berupa janji ideal daripada solusi konkret.

Walhasil, moderasi berakidah perlu diperkuat dengan pendekatan nan lebih menyeluruh: sosialisasi nan masif, pendidikan kepercayaan nan inklusif, penegakan norma nan tegas, dan strategi digital nan cerdas.

Tanpa langkah-langkah tersebut, moderasi berakidah hanya bakal menjadi idealisme nan rapuh, tak bisa menjawab dinamika keberagamaan di Indonesia nan begitu kompleks dan penuh tantangan.

Selengkapnya
Sumber Info Seputar Islam bincangsyariah
Info Seputar Islam bincangsyariah