Mewujudkan Keadilan dan Harmoni: Peran Falsafah Tri Silas dalam Penyelesaian Konflik di Masyarakat Adat Sunda

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Konflik sosial di dalam masyarakat budaya merupakan persoalan nan kudu dihadapi, termasuk oleh masyarakat budaya Sunda. Konflik tersebut biasanya dipicu lantaran aspek identitas budaya di dalam masyarakat budaya nan pada akhirnya memicu disintegrasi sosial dan budaya. Sebagai contoh dari bentrok masyarakat budaya Sunda adalah bentrok pertentangan kepercayaan terhadap faedah dari Cai Kahuripan nan merupakan kepercayaan masyarakat Desa Cirejag. 

Konflik tersebut bukan merupakan bentrok nan dapat diselesaikan di pengadilan, melainkan kudu diselesaikan dengan prinsip hidup masyarakat lokal melalui lembaga budaya nan ada. Penyelesaian konfliknya juga bukan dengan menentukan siapa nan betul dan siapa nan salah, alias siapa nan menang dan siapa nan kalah. Tetapi penyelesaian bentrok ini bermaksud untuk menciptakan kedamaian antara kedua belah pihak nan bertentangan, sehingga kehidupan masyarakat budaya dapat kembali harmonis.

Falsafah Tri Silas nan dianut masyarakat budaya Sunda menawarkan landasan filosofis nan kuat dalam menangani bentrok dan membangun harmoni pada masyarakat budaya Sunda. Konsep ini sudah lama dikembangkan dalam kebudayaan Sunda dan dijadikan pegangan oleh masyarakat adatnya, apalagi diketahui sudah ada sejak era kepemimpinan Prabu Siliwangi sebagai corak realisasi ‘keluhuran hati budi nurani’. Tidak hanya menjadi falsafah hidup masyarakat budaya Sunda saja, unsur-unsur Tri Silas juga pernah digali oleh Soekarno sebagai falsafah dari Pancasila.

Suryalaga dalam bukunya Kasunda Rawayan Jati menjelaskan tentang nilai-nilai dalam konsep Tri Silas, ialah silih asih, silih asah, dan silih asuh. Silih asih mempunyai makna saling menyayangi, ialah merupakan corak perilaku nan menunjukkan rasa kasih sayang kepada sesama dengan tulus. Silih asah mempunyai makna saling mengasah ialah dengan saling mendidik, saling menambah pengetahuan, memperluas wawasan, serta pengalaman lahir dan batin. Sedangkan silih asuh berfaedah saling membimbing, melindungi, merawat, mengarahkan, dan membina kepada sesama untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.

Falsafah Tri Silas sebagaimana dijelaskan di atas dapat menjadi dasar penyelesaian bentrok masyarakat budaya Sunda lantaran sejalan dengan pandangan hidup orang Sunda nan selalu mau hidup rukun, mendahulukan kebersamaan, mempunyai pertimbangan nan adil, kudu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan nan baru, kudu bijak sehingga dapat mencapai hasil tanpa menimbulkan ketegangan alias kekeruhan, suka tolong-menolong, tahu aturan, dan menjunjung tinggi sopan santun. 

Dengan demikian, penggunaan falsafah Tri Silas kudu dikedepankan dalam proses penyelesaian bentrok oleh lembaga budaya lantaran falsafah tersebut mempunyai kedudukan nan kuat dalam kehidupan masyarakat budaya Sunda. Dengan langkah penyelesaian bentrok nan demikian diharapkan dapat menciptakan kedamaian, dengan memberikan penekanan pada pengharmonisan dan partisipasi kelompok, sehingga selain memulihkan ketertiban sosial, hasil akhirnya juga dapat diterima oleh semua pihak.


Referensi:

Rahmatiani, Lusiana, Bunyamin Maftuh dan Elly Malihah. “Kearifan Lokal Sunda dalam Menyelesaikan Konflik Kepercayaan Masyarakat Desa Cirejag.” Jurnal Pendidikan Politik, Hukum dan Kewarganegaraan 10 No 2 (September 2020). Hlm. 33-42.

Sunaryo, Ayo. “Tri Silas Value in the Choreography of Sundanese Tradition Children’s Game.” Advances in Social Science, Education and Humanities Research volume 519 (2020). Hlm. 120-124.

Takdir, Muh. “SILAS-Based Approach in Practice of Education: The Mission of Peace and Humanity.” Advances in Social Science, Education and Humanities Research volume 400 (2019). Hlm. 228-231.

Situs Terkait:

Perpustakaan Digital Budaya Indonesia

Related

Selengkapnya
Sumber infobudaya
infobudaya