
– Presiden RI Prabowo Subianto mengungkit sosok besar, panglima perang Islam Khalid bin Walid saat berpidato dalam peresmian pembukaan PUIC ke-19 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. “Khalid bin walid, simbol pengabdian total umat Islam. Tokoh militer nan tak pernah kalah. Tak satu pun dia pernah kalah,” katanya, Rabu (14/5/2025).
Khalid bin Walid, nan dijuluki “Pedang Allah nan Terhunus” (Saifullah al-Maslul), adalah simbol pengabdian total kepada Islam. Ia memimpin beragam pertempuran besar dalam sejarah awal Islam, termasuk Perang Mu’tah, Yarmuk, dan penaklukan Damaskus. Rekam jejak militernya begitu gemilang: tidak pernah sekalipun kalah dalam pertempuran nan dia pimpin.
Di medan perang, keberanian adalah mata duit tertinggi. Dan di antara para pejuang Islam generasi awal, nama Khalid bin Walid berdiri menjulang seperti panji nan tak pernah jatuh. Lahir dari family bangsawan Quraisy, dari Bani Makhzum nan terkemuka, Khalid mewarisi darah kemuliaan dan keberanian. Namun, takdir membawanya pada jalan nan lebih besar—ia tak hanya menaklukkan wilayah, tetapi juga sejarah.
Keislamannya datang tidak sejak awal. Berdasarakan catatan Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Khalid bin Walid baru memeluk Islam pada tahun kedelapan Hijriah, bulan Shafar. Tapi sejak saat itu, langkahnya tak pernah surut. Perang Mu’tah menjadi medan tempur pertamanya.
Ketika tiga panglima syahid satu demi satu, Khalid maju dan memegang komando. Strateginya menyelamatkan pasukan dari kehancuran, dan dari mulut Rasulullah SAW mengalir pujian nan menjadi gelar abadi: “Pedang dari pedang-pedang Allah.”
Julukan itu bukan sekadar simbol. Di medan-medan perang berikutnya—penaklukan Makkah, Perang Hunain, apalagi dalam menghadapi kaum murtad dan nabi tiruan Musailamah—Khalid tampil sebagai sosok nan selalu di depan. Bukan hanya komandan perang, dia juga seorang dermawan, menyumbangkan perlengkapannya demi jihad. Ia bukan hanya tangan nan kuat menggenggam pedang, tapi juga hati nan tulus menyerahkan segalanya untuk Islam.
Ia menyeberangi padang pasir menuju Irak dan Syam hanya dalam lima malam—misi nan di mata para mahir strategi modern pun terbilang mustahil. Tubuhnya adalah peta luka, tanpa satu inci pun nan bebas dari sayatan senjata. Tapi semua luka itu bukan penyesalan, melainkan kebanggaan. Ia pernah berbicara getir, bahwa para pengecut semestinya malu lantaran dirinya, sang pejuang sejati, wafat bukan di medan perang, melainkan di atas ranjang.
Khalid bukan tanpa cela. Peristiwa di Bani Jadzimah menjadi noda nan susah dihapus. Rasulullah SAW apalagi berlepas diri dari tindakannya. Sahabat-sahabat terdekat, seperti Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf, turut mengecam. Tapi sejarah mencatat manusia seutuhnya, bukan malaikat. Dan Khalid adalah manusia nan terus melangkah dalam jalur ijtihad, kadang tepat, kadang keliru.
Namun, sisi Khalid tak hanya keras. Ada sisi lembut nan jarang tersorot. Ia pernah mengadukan gangguan hantu kepada Nabi SAW dan menerima angan perlindungan. Ia juga bertanya tentang dhab—biawak padang pasir—yang tak dimakan Nabi SAW, lampau memakannya setelah mendapat penjelasan. Ini menunjukkan sisi intelektual dan spiritualitas dalam dirinya, sesuatu nan kadang tersembunyi di kembali gemuruh pedang.
Dalam hubungan pribadi dengan Nabi SAW, Khalid mempunyai tempat istimewa. Saat Haji Wada’, dia menerima sehelai rambut ubun-ubun Rasulullah SAW nan kemudian dijahitnya pada helm perangnya. Baginya, itu bukan sekadar relik, tapi sumber keberkahan dan kekuatan. Selama rambut itu bersamanya, tak satu pun kekalahan menyentuh langkahnya.
Khalid juga bukan semata penakluk. Ia pernah diutus sebagai da’i ke kabilah Al-Harits bin Ka’ab. Ia mengerti bahwa Islam tidak hanya ditumbuhkan dengan pedang, tetapi juga disampaikan dengan kata. Ia tahu, menaklukkan hati tak kalah krusial dari menaklukkan wilayah.
Ketika wafat di Homs pada usia 60 tahun, jasadnya menjadi saksi bisu atas ribuan pertempuran. Para pemandi jenazah berbicara tak satu bagian tubuh pun nan luput dari luka. Dan luka-luka itu bukan luka kekalahan, tapi lencana keabadian. Ia wafat bukan sebagai pecundang nan melarikan diri dari perang, tetapi sebagai pahlawan nan membawa seluruh perang di tubuhnya.
Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berbicara bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Khalid adalah pedang Allah.” Sebuah gelar nan mengandung pujian sekaligus amanah besar. Dan sepanjang hayatnya, Khalid membuktikan bahwa gelar itu tak pernah meleset dari makna.
Sejarah mengenangnya bukan hanya sebagai jenderal, tapi sebagai legenda. Ia mengajarkan bahwa keberanian sejati lahir dari keimanan, dan bahwa ketegasan dalam jihad bisa berpadu dengan kelembutan iman. Sosoknya adalah inspirasi lintas generasi—bahwa perjuangan tak kudu selalu berhujung dengan kematian di medan perang, tetapi bisa berhujung damai, dengan tubuh penuh luka, dan nama nan kekal dikenang:
Khalid bin Walid, Pedang Allah nan Tak Pernah Patah.