
– Akhir-akhir ini, banyak kasus penghakiman massa nan berujung tragis, terutama terhadap pelaku pencurian. Berita tentang maling nan meninggal bumi akibat kekerasan, seperti dibakar oleh masyarakat, semakin sering muncul. Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama dari sisi norma kepercayaan dan fikih: apakah pelaku pencurian nan meninggal lantaran penghakiman massa tersebut bisa dikategorikan sebagai syahid?
Menurut norma negara maupun norma agama, tindakan membunuh sebagai corak balasan atas pencurian [main pengadil sendiri] tidaklah dibenarkan. Sanksi nan sah kudu melalui proses peradilan nan setara dan sesuai dengan ketentuan hukum maupun perundang-undangan negara.
Oleh karena itu, pelaku pencurian nan meninggal akibat tindakan main pengadil sendiri sebenarnya menjadi korban salah penerapan sanksi. Dari perspektif pandang fikih, kematian nan terjadi lantaran penghakiman massa seperti ini tidak bisa dianggap sebagai syahid di dunia, melainkan lebih pada penghargaan di akhirat, lantaran mereka tidak gugur dalam memihak kepercayaan alias kebenaran secara syar’i.
Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa status syahid duniawi tidak serta merta diberikan kepada setiap orang nan meninggal lantaran kekerasan, terlebih jika kekerasan tersebut dilakukan tanpa dasar norma nan benar. Syahid nan sesungguhnya adalah mereka nan meninggal dalam keadaan memihak kepercayaan Allah dengan langkah nan betul dan sesuai syariat.
Dengan demikian, bagi pelaku maling nan meninggal akibat penghakiman massa, derajat syahid itu hanya bakal diberikan oleh Allah di alambaka kelak, sebagai corak rahmat dan keadilan Ilahi, bukan sebagai legitimasi atas tindakan kekerasan nan tidak berdasarkan hukum.
(و) أما الشهيد فهو ثلاثة أقسام لأنه إما شهيد الآخرة فقط فهو كغير الشهيد وذلك كالمبطون وهو من قتله بطنه بالاستسقاء أي اجتماع ماء أصفر فيه أو بالإسهال والغريق وإن عصي في الغرق بنحو شرب خمر دون الغريق بسير سفينة في وقت هيجان الريح فإنه ليس بشهيد والمطعون ولو في غير زمن الطاعون أو بغيره في زمنه أو بعده حيث كان صابرا محتسبا والميت عشقا بشرط الكف عن المحارم حتى عن النظر بحيث لو اختلى بمحبوبه لم يتجاوز الشرع وبشرط الكتمان حتى عن معشوقه والميتة طلقا ولو من زنا إذا لم تتسبب في إسقاط الولد. والمقتول ظلما ولو بحسب الهيئة كمن استحق القتل بقطع الرأس فقتل بالتوسط مثلا والغريب وإن عصي بغربته كآبق وناشزة والميت في طلب العلم ولو على فراشه والحريق والميت بهدم وكذا من مات فجأة أو في دار الحرب قاله ابن الرفعة وكذا المحدود سواء زيد على الحد المشروع أم لا وسواء سلم نفسه لاستيفاء الحد منه تائبا أم لا قاله الشبراملسي
ومعنى الشهادة لهم أنهم {أحياء عند ربهم يرزقون} 3 آل عمران الآية 169 قاله الحصني
- Adapun syahid, maka terbagi menjadi tiga jenis. Karena syahid bisa jadi hanya syahid alambaka saja, maka hukumnya seperti orang nan bukan syahid. Contohnya adalah orang nan meninggal lantaran penyakit perut, ialah nan meninggal lantaran penyakit perut seperti busung air—yakni penumpukan cairan kuning dalam perut—atau lantaran diare.
- Begitu juga orang nan meninggal tenggelam, selain jika dia meninggal tenggelam dalam keadaan maksiat, seperti lantaran mabuk akibat minum khamar. Berbeda dengan orang nan tenggelam lantaran perjalanan dengan kapal di waktu angin kencang, maka dia tetap dihitung syahid.
- Termasuk juga orang nan meninggal lantaran pandemi tha’un, meskipun bukan di masa tha’un, alias terkena selain tha’un di masa tha’un alias sesudahnya, selama dia bersabar dan mengharap pahala (ihtisab).
- Demikian pula orang nan meninggal lantaran cinta (rindu nan mendalam) dengan syarat:
- Menahan diri dari hal-hal haram, apalagi dari sekadar memandang,
- Seandainya dia berkhalwat (berduaan) dengan orang nan dicintainya, dia tidak bakal melampaui syariat,
- Ia menyembunyikan cintanya, apalagi dari orang nan dicintainya.
- Juga termasuk wanita nan meninggal lantaran melahirkan, meskipun dari zina, selama dia tidak menyebabkan keguguran janin secara sengaja.
- Termasuk juga orang nan dibunuh secara zalim, meskipun secara zhahir dia layak dibunuh, seperti seseorang nan layak dihukum meninggal dengan dipenggal, tetapi dia malah dibunuh dengan langkah lain seperti ditusuk di tengah tubuhnya.
- Orang asing (pendatang) juga termasuk syahid, meskipun keberadaannya sebagai orang asing akibat maksiat, seperti budak nan kabur alias istri nan nusyuz.
- Juga orang nan meninggal dalam menuntut ilmu, meskipun dia meninggal di atas ranjangnya. Orang nan meninggal lantaran kebakaran alias tertimpa bangunan, juga orang nan meninggal secara mendadak alias di wilayah perang, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ar-Rif’ah.
- Demikian pula orang nan dihukum had, baik hukumannya melampaui pemisah nan ditetapkan hukum alias tidak, dan baik dia menyerahkan diri untuk menjalani had dalam keadaan taubat alias tidak, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syabramallisi.
Pengertian syahid bagi mereka adalah bahwa mereka;
أحياء عند ربهم يرزقون
hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. [ QS. Ali imron : 169 ]. Demikian ini diutarakan oleh Al-Hishni. (Nihayat Al-Zain, https://shamela.ws/book/6146 160)
Dengan pengertian tersebut, andaikan seorang pelaku maling meninggal akibat tindakan kekerasan alias hukuman nan tidak sah, seperti dibakar oleh masyarakat tanpa melalui proses peradilan nan benar, maka status syahid nan dia dapatkan hanya bertindak di akhirat.
Artinya, kematiannya tidak dianggap syahid di bumi lantaran tidak memenuhi syarat-syarat syahid nan ditetapkan dalam syariat. Namun, Allah tetap memberi karunia dan kedudukan unik bagi mereka di alambaka sebagai corak rahmat dan keadilan-Nya.
Lalu, apa kegunaan dari status syahid itu sendiri? Status syahid membawa banyak keistimewaan, antara lain dijauhkan dari siksa kubur, dipercepat masuk surga tanpa hisab, dan mendapatkan kedudukan nan mulia di sisi Allah.
Ini adalah penghargaan nan diberikan Allah kepada mereka nan meninggal dalam memihak kepercayaan dan kebenaran sesuai syariat. Dengan demikian, meski pelaku maling nan meninggal akibat penghakiman massa tidak syahid duniawi, Allah tetap memberikan keistimewaan di alambaka sebagai bentuk kasih sayang dan keadilan-Nya.
(فائدة) كل ذنب تكفره الشهادة إلا الدين أي دين الآدمي الأعم من أن يكون قذفا أو غيبة أو نحو ذلك اهـ. برماوي.
“Status kesyahidan seseorang bisa melebur setiap dosanya, selain masalah hutang terhadap sesama. Dan ini mencakup pada dosa qadzaf (menuduh zina tanpa adanya bukti) dan ghibah (menggunjingnya)”. (Hasyiyah Al-Jamal, https://shamela.ws/book/21598 2/194)
Lantas gimana status orang-orang nan menghakimi maling tadi? Syekh Taqiyuddin Al-Hisni menerangkan demikian;
إذا اشترك جماعة في قتل واحد قتلوا به بشرط أن يكون فعل كل واحد لو انفرد لقتل لعموم قوله تعالى {ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطانا} يعني القصاص وقتل عمر رضي الله عنه سبعة أو خمسة من أهل صنعاء اليمن بواحد وقال لو توالى عليه أهل صنعاء لقتلتهم به وقتل علي رضي الله عنه ثلاثة بواحد وقتل المغيرة سبعة بواحد وقال ابن عباس رضي الله عنهما إذا قتل جماعة واحدا قتلوا به ولو كانوا مائة ولم ينكر عليهم أحد فكان ذلك اجماعا.
Arinya;Ketika sekelompok orang berkawan alias berbareng dalam pembunuhan 1 orang, maka kesemuanya di bunuh (diqishash) karena pembunuhan itu, dengan syarat perbuatan masing-masing orang dari golongan itu jika dilakukan oleh 1 orang maka dapat menyebabkan pembunuhan. perihal ini berdasar keumuman firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
” ……. Barangsiapa siapa nan dibunuh secara dholim, maka kami memberikan kuasa pada walinya (ahli warisnya).” [ ialah norma qishosh ]. (surat al-isra’ ayat 33)
Sayyiduna Umar bin Al-khaththab RA membunuh (menghukum qishosh) 7 alias 5 orang masyarakat shon’a’ (sana’a), yaman, karena mereka melakukan pembunuhan pada satu orang. Dan dia berkata: “jika masyarakat sana’a berturut-turut melakukan pembunuhan pada satu orang, maka saya bakal membunuh mereka semua karena perihal itu”. Dan sayyiduna Ali RA membunuh 3 orang karena pembunuhan satu orang.
Al-Mughirah membunuh 7 orang karena pembunuhan pada 1 orang. Abdullah bin Abbas Ra berkata: “jika ada sekelompok orang membunuh 1 orang, maka mereka dibunuh (diqishash karena perihal itu) meskipun mereka berjumlah 100 orang”. Dan tidak ada satupun nan mengingkari pada (keputusan) para sahabat itu. dan perihal ini menjadi ijma’. (Kifayat Al-Akhyar, https://shamela.ws/book/6140 H. 457)
Bahkan semisal model sanksinya adalah membakar maling, maka pihak-pihak nan andil bisa saja terkena qishash. Dijelaskan;
قال الشافعي رحمه الله: ” وإن طرحه في نار حتى يموت طرح في النار حتى يموت “.
“Ketika ada seseorang menjerumuskan pada bara api kemudian meninggal, maka dia juga diperlakukan nan sama”. (Al-Hawi Al-Kabir, https://shamela.ws/book/6157 12/139)
Dengan demikian seyogyanya tidak main pengadil sendiri, karena sangat riskan sekali. Sebab bisa saja ini menjadi boomerang baginya, bahwa maling nan salah hukuman tadi malah jadi syahid (di alambaka saja) sedangkan dia sendiri malah terbebani qishash ketika perlakuannya sendiri berpotensi membunuh seseorang.
Dan bisa saja pihak nan main pengadil sendiri nan membakar maling, nan berkepentingan juga dibebani perihal serupa. Wal hasil, harusnya berhati-hati dan tetap bisa setara dalam menghadapi orang-orang nan bermasalah. Karena sekali salah dalam memberikan sanksi, maka ada akibat nan bakal menjeratnya.
Begitu pun pelaku pencurian dan maling, tidak seyogianya melakukan tindaka tersebut. Sebab itu tindakan nan merugikan orang banyak. Pun melanggar hukum, nan disanksi pidana. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.