– Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, seorang ustadz besar dalam bagian tasawuf dan akhlak, membahas etika serta etika nan kudu diikuti oleh seorang Muslim dalam menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Salah satu topik krusial dalam kitab ini adalah menjaga personil tubuh dari perbuatan maksiat, termasuk maksiat tangan.
Sebagaimana kajian rutinan malam kamis (setengah bulan sekali), Habib Dudung (Abdul Mun’im bin Mustafa Baharun, Pengasuh Musala Baharun Sumenep) memulai kajian Kitab Bidayatul Hidayah dengan basmalah, hamdalah, selawat, dan angan ngalap berkah dari Imam al-Ghazali atas kitabnya nan bakal dikaji.
واما اليدان فاحفظهما عن ان تضرب بهما مسلما او تناول بهما مالا حراما او تؤدي بهما احدا من الخلق او تخون بهما في امنة او وديعة او تكتب بهما ما لا يجوز النطق به فان القلم أحد اللسانين فاحفظ القلم عما يجب حفظ اللسان عنه.
Adapun kedua tangan, hendaklah menjaganya dari memukul orang islam, alias menyantap kekayaan haram, alias menyakiti makhluk Allah, alias berkhianat ketika diberi mandat alias titipan, alias menulis sesuatu nan tidak boleh diucapkan. Karena sejatinya tulisan termasuk salah satu dari lisan. Lindungilah jari-jari kita sebaimana kita menjaga mulut.
Setelah memaknai beberapa kalimat, beliau bercerita tentang salah satu pidato Rasulullah Saw. menjelang wafat. Sayyidina Bilal bin Rabah diminta untuk mengumpulkan para sahabat nabi guna mendengarkan pidatonya di Masjid Nabawi.
“Wahai manusia, menurut kalian saya ini termasuk Nabi nan seperti apa?”, tanya Rasul Saw. pada para sahabatnya. “Engkau ibaratkan seorang ayah nan sangat mencurahkan kasih sayang pada anaknya. Engkau juga seperti kerabat nan sangat baik dan bijak. Tutur katamu sangat santun dalam penyampaian risalah”, jawab salah satu sahabat.
Bukan jawaban itu nan nabi maksud. Lalu beliau bertanya lagi “Siapa saja nan merasa terzalimi olehku, berdirilah! Silakan balas kezalimanku.” Kata Habib Dudung, nabi sampai mengulangi pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali sehingga Sayyidina Ukasyah bin Mihshan, seorang kakek renta berdiri dengan penuh takzim.
“Mohon maaf nabi, seumpama engkau tidak mengulanginya hingga 3 kali, tentu saya tidak bakal berdiri. Dulu, sehabis pulang dari peperangan, saya mengendarai unta di dekatmu. Entah sengaja alias tidak, pecutmu mengenai perutku di saat saya turun dari unta bermaksud mencium pahamu”, tutur Ukasyah nan membikin geram para sahabat nan lain.
“Mana mungkin saya sengaja. Tentu tidak. Bilal, ambilah pecut nan bergelantung di rumah Fatimah”, perintah nabi pada Bilal. Rasa kecamuk sedih dalam diri Bilal “Kok ada nabi nan tetap meminta untuk dibalas”, teriak panik Bilal.
Pecut diserahkan pada baginda Nabi Saw. Lalu diberikannya pada Ukasyah. Para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Ali, dan nan lain bergantian meminta sebagai pengganti nabi untuk dicambuk.
“Tunggu dulu nabi. Dulu perutmu mengenai perutku dalam keadaan terbuka. Singkap dulu bajumu”, pinta Ukasyah pada nabi nan membikin sahabat semakin geram. Setelah dibuka, perut nabi langsung dicium oleh Ukasyah sembari memeluknya. Kata Nabi “jika mau memandang kawanku di surga nanti, pandangilah kakek ini”.
“Lantas, gimana dengan tangan-tangan kita nan seringkali usil pada orang lain. Sudahkah kita meminta maaf pada mereka? Tidakkah kita malu pada Nabi Muhammad Saw. nan tetap meminta dibalas dengan sesuatu nan tidak disengajanya?”, tukas Habib Dudung.
Masih seputar tangan, beliau mengisahkan tentang Imam Ibn Ruslan, Sohib matan az-Zubad. Ketika beliau wafat, putranya memastikan apakah ada di antara sabahat dan tetangga nan tersakiti oleh ucapan alias perbuatan sang ayah. Ini menunjukkan sungguh pentingnya menjaga tangan dari perbuatan maksiat. Tutur Habib Dudung;
Beliau mengutip firman Allah Swt. dalam QS. Yasin: Ayat 65:
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Pada hari ini Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah nan berbicara kepada Kami dan kaki merekalah nan bakal bersaksi terhadap apa nan dulu mereka kerjakan.
Tangan kita bakal berterus terang atas perbuatan kita sewaktu di bumi kelak di akhirat, disaksikan oleh kaki (justice collaborator) sehingga tidak bisa mengelak, dengan mulut dilakban. Jangankan memukul alias menampar, mencubitpun ada balasannya. Jangan dikira perihal nan mini bakal terlupakan.
Beliau mengutip ayat lagi tentang keterkaitan hati dan tangan sehingga kita perlu hati-hati dalam bertindak. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Muthaffifin: Ayat 14:
كَلَّا بَلْ ۜ رَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Sekali-kali tidak! Bahkan, apa nan selalu mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.
Kata beliau, kasab itu kebanyakan melalui tangan. Hati nan menjadi pusat kebaikan bisa terpengaruh oleh ulah tangan. Bahkan keahlian menjaga tangan menjadi salah satu tanda muslim nan paripurna. Beliau mengutip hadits Nabi :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya; Orang Islam itu adalah mereka nan memberi rasa kondusif lingkungan sekitar dari ucapan dan tindakannya.
Sebenci apapun lampau memutuskan bersalaman, maka pasti melahirkan kedamaian (rekonsiliasi). Beliau mengutip hadits tentang akibat luar biasa dari jabat tangan nan bisa memadamkan api amarah:
تصافحوا يذهب الغل،الحديث
Berjabat tanganlah, niscaya rasa dengki bakal menghilang.
Beliau melanjutkan kajian tentang maksiat tangan dengan penjelasan tentang nilai alias nilai tangan seorang muslim. Hukum qisas dalam islam, jika dimaafkan, maka dia kudu ditebus dengan 500 dinar alias kurang lebih 2 kg emas nan diserahkan pada family korban. Berbeda dengan pangkas tangan bagi pencurian sebesar 1/4 dinar alias kira-kira 1 gr emas.
Beliau menyampaikan bahwa ringan tangan termasuk salah satu dari 4 perihal nan menyebabkan su’ul khotimah. Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitabnya, Sabilul Iddikar wal i’tibar bahwa diantara penyebab su’ul khotimah ialah (1) melalaikan shalat, (2) konsumsi narkotika, (3) durhaka pada kedua orang tua, (4) ringan tangan (zalim) pada orang lain. Lagi-lagi ini tentang ulah tangan nan tak bertanggung jawab.
Sebelum menutup kajian, beliau juga menyampaikan pentingnya menjaga tangan dari menulis sesuatu nan tak pantas. Lebih-lebih di era digital, jangan mudah menulis alias membagikan info di medsos nan belum jelas kebenarannya alias tidak nampak manfaatnya.
Banyak perselingkuhan dan perceraian berasal dari mengomentari postingan (micro cheating). Lalu beranjak ke chatingan, dan lebih jauh lagi, sehingga halalkan nan haram dan haramkan nan halal. Pisah, kawin lagi, lampau menyesal lantaran rupanya tak seindah pas chatingan (fatamorgana, lahwun). Nauzubillah.