– Menjelang pemilihan Pilkada serentak acap kali saya temukan iklan dan banner di sepanjang jalan alias pamflet di sosial media nan menampilkan gambar calon kandidat berbareng alim-ulama dan tokoh. Lalu gimana hukum menggunakan foto ustadz sebagai perangkat kampanye dalam Islam?
Banner alias pamflet bergambar kandidat nan disandingkan dengan para tokoh dan alim-ulama, lumrah kita jumpai tiap kali pemilihan pemimpin. Tentu, tujuannya untuk menarik support dari masyarakat lantaran tokoh dan alim-ulama tersebut mempunyai kharisma dan pengaruh di tengah masyarakat.
[Baca juga: Hukum Memindahkan Jenazah Karena Beda Pilihan Politik]
Adapun norma memajang foto alias gambar tokoh dan alim-ulama nan disandingkan dengan calon kandidat pemimpin sebagai perangkat kampanye, menurut pandangan Islam, dirinci menjadi dua;
Pertama, boleh bilamana sudah ada izin dari nan bersangkutan, baik orangnya langsung alias mahir warisnya (keluarga).
Kedua, haram jika tanpa izin dari nan bersangkutan, baik langsung maupun mahir warisnya. Alasannya, pertama, lantaran pemasangan gambar alias foto alim-ulama dan tokoh dianggap menggunakan properti seseorang tanpa izin, nan mana dalam Islam dilarang.
Salah satu norma fikih menyatakan;
لا يجوز لأحد أن يتصرف في ملك الغير بلا إذنه
“Tidak boleh bagi seseorang untuk memanfaatkan (menggunakan) properti orang lain tanpa izin”. (Muhammad Mushthafa al-Zuhayli, Al-Qawaid al-Fiqhiyah Wa Tathbiqaha Fi Al-Mazahib Al-’Arba’ah, 1/551).
[Baca juga: Jangan Mengotori Maulid Nabi dengan Kampanye Politik]
Sementara sabda Nabi mengungkapkan sebagai berikut:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Artinya: “Tidak legal kekayaan seorang Muslim, selain dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ibnu Hibban).
Sementara argumen kedua yaitu, dalam konteks kampanye, menggunakan foto ustadz nan tanpa izin bisa menimbulkan persepsi masyarakat seolah-olah tokoh tersebut memberikan support langsung kepada calon kandidat. Padahal mungkin ustadz tersebut tidak terlibat.
Hal ini dapat menyesatkan masyarakat dan bertentangan dengan prinsip kejujuran nan diajarkan dalam Islam. Salah satu sabda Nabi nan mengingatkan untuk selalu jujur dan menghindari sikap manipulatif.
Penjelasan ini sebagaimana Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Bulugh al-Maram, laman 457.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: «عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ, فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ, وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ, وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ, وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ, حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا, وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ, فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ, وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ, وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ, وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ, حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya: “Dari Ibn Mas’ud – semoga Allah meridhainya – dia berkata: Rasulullah – semoga Allah memberinya keselamatan dan kesejahteraan – bersabda: “Hendaklah kalian selalu berbicara jujur, lantaran sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu mengantarkan kepada surga. Dan seorang laki-laki terus-menerus berbicara jujur dan berupaya untuk jujur hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai orang nan jujur. Dan hindarilah oleh kalian kebohongan, lantaran sesungguhnya ketidakejujuran itu mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan itu mengantarkan kepada neraka. Dan seorang laki-laki terus-menerus berbohong dan berupaya untuk berbohong hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Keharaman pemasangan foto alim-ulama tanpa izin tersebut sejalan dengan patokan UU Hak Cipta no 28 2014 pasal 12 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
“(1) Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi atas Potret nan dibuatnya guna kepentingan iklan alias periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang nan dipotret alias mahir warisnya.”
“(2) Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi Potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nan memuat Potret 2 (dua) orang alias lebih, wajib meminta persetujuan dari orang nan ada dalam Potret alias mahir warisnya”.
Demikianlah penjelasan norma pemasangan foto alias gambar ustadz dan tokoh sebagai perangkat kampanye. Wallahu a’lam.