Fenomena Singlehood dalam Kajian Hadis

Sedang Trending 5 hari yang lalu
Fenomena Singlehood dalam Kajian HadisFenomena Singlehood dalam Kajian Hadis

- Ada satu kejadian nan saat ini tengah marak dikalangan para pemuda/pemudi dan apalagi menjadi satu prinsip di beberapa kalangan pemuda, ialah istilah singlehood (melajang). Singlehood merupakan perseorangan nan sedang tidak alias belum pernah berasosiasi romantis dalam jangka waktu lama.

Pemilihan hidup melajang (singlehood) tercatat oleh Kementerian Agama nan mengungkapkan bahwa trend menikah di tahun 2025 mempunyai penurunan. Hal ini dilatarbelakangi oleh aspek ketidaksiapan, konsentrasi karir, trauma, serta pilihan jalan hidup. 

Menurut Adamczyk (2017), terdapat dua jenis singlehood, yaitu: 1) Voluntary Singlehood, perseorangan memilih untuk tidak berasosiasi romantis dan mau menjalani kehidupan sebagai lajang, beberapa aspek nan mendorong ialah mau kebebasan, konsentrasi pada pekerjaan alias pendidikan, kekecewaan pada hubungan sebelumnya, dan tidak mau berkomitmen dan 2) Involuntary Singlehood, perseorangan tidak berasosiasi romantis bukan lantaran pilihan sendiri melainkan lantaran aspek eksternal, seperti kesulitan ekonomi, belum menemukan pasangan nan sesuai, kesehatan, dan larangan orangtua.

Hadis sebagai salih ala kulli era wal makan harus bisa menanggapi problem nan terjadi di masyarakat sampai kapanpun. Istilah singlehood secara definitif memang tidak ada di dalam redaksi hadis, namun jika disandingkan dengan makna implisit, setidaknya ada dua istilah singlehood yang dapat ditemukan melalui beberapa kata kunci seperti al-rahbaniyyah (praktik orang-orang Nasrani nan hidup di biara dan tidak menikah), tabattul (hidup membujang). 

Hadis nan disinyalir Selaras dengan Fenomena Singlehood 

Pada hakikatnya Nabi Muhammad Saw menganjurkan umatnya untuk menikah, lantaran menikah merupakan sunnatullah dan berbobot ibadah. Seperti tergambar pada beberapa redaksi sabda nan di mana Nabi Muhammad menganjurkan untuk menikah, seperti sabda mengenai “anjuran para pemuda untuk menikah jika sudah siap” (HR. Bukhari, No. 4678), “cara memilih pasangan” serta “menikah dengan wanita nan subur agar mempunyai keturunan”. Dari indikasi tersebut dapat kita simpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw menganjurkan umatnya untuk menikah.  

Secara gamblang, memang tidak ada satupun sabda nan melegalkan alias memperbolehkan seseorang untuk hidup melajang, justru Nabi melarang orang nan mau melajang, seperti nan dijelaskan dalam sabdanya sebagai berikut. 

رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

“Rasulullah Saw telah melarang Utsman bin Mazh’un untuk hidup membujang (tabattul). Dan sekiranya beliau mengijinkannya, niscaya kami bakal mengebiri” (HR. Bukhari, No. 5073).

Hadis ini mempunyai sanad nan sahih dan matan nan dapat diterima, sehingga dapat dijadikan hujjah bagi umat Islam. Menurut al-Suyuthi asbabul wurud hadis ini adalah mengenai larangan untuk tidak menikah jika dengan argumen mau beragama secara terus menerus, dan tidak mementingkan sikap sosial. Lebih lanjut, sabda mengenai larangan untuk menikah (tabattul) ini nan di kisahkan pada Ustman b Mazh’un terdapat pada riwayat lain. 

لَمَّا كَانَ مِنْ أَمْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ الَّذِي كَانَ مِنْ تَرْكِ النِّسَاءِ بَعَثَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عُثْمَانُ إِنِّي لَمْ أُومَرْ بِالرَّهْبَانِيَّةِ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي قَالَ لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ مِنْ سُنَّتِي أَنْ أُصَلِّيَ وَأَنَامَ وَأَصُومَ وَأَطْعَمَ وَأَنْكِحَ

“Ketika terjadi persoalan Utsman bin Mazh’un ialah ketika dia tidak mau menikahi wanita, maka Rasulullah ﷺ mengirim utusan kepadanya untuk mengatakan, “Wahai Utsman, sesungguhnya saya tidak diutus dengan membawa aliran untuk tidak beristeri dan mengurung diri dalam tempat ibadah. Apakah engkau tidak suka terhadap sunahku?” Ia berkata, “Tidak wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya diantara sunahku adalah melakukan salat dan tidur, berpuasa dan makan, dan menikah(HR. Sunan Al-Darimi, No. 2215). 

Al-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan kata “Tabattul” pada konteks sabda tersebut adalah “menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah lantaran mau terus beragama kepada Allah”. Al-Harawi menguatkan dalam kitab Manazil al-Sairin, bahwa Tabattul bermakna “Memisahkan diri dari segala sesuatu, agar bisa beragama kepada Allah secara total”. Oleh perihal inilah nabi dalam sabda tersebut melarang umatnya untuk bersikap tabattul. 

Jika di telaah secara mendalam pada sabda tersebut terdapat “Al-Ragibta an Sunnati” (Apakah engkau enggan dengan Sunahku). Artinya dalam perihal ini penekanannya bukan terletak pada larangan secara menyeluruh untuk tidak menikah. Akan tetapi jika seseorang tidak menikah lantaran karena “enggan terhadap sunnah Nabi” itulah nan dilarang oleh Nabi Muhammad Saw, lantaran menikah termasuk kepada sunnah Nabi Muhammad Saw.

Dalam sejarahnya, terdapat salah satu ulama, seperti An-Nawawi nan memilih hidup untuk melajang. Namun Al-Nawawi tidak menikah bukan lantaran “enggan terhadap sunnah Nabi”, bakal tetapi lantaran tidak ada waktu untuk menikah dan dalam satu riwayat dia mempunyai penyakit nan tidak bisa memperoleh seorang anak.

Dapat disimpulkan bahwa tidak menikah itu diperbolehkan selama bukan atas dasar “enggan terhadap sabda Nabi” dan juga mempunyai penyakit nan bakal membahayakan dirinya dan orang lain, perihal ini selaras dengan Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari No. 1256 nan tidak diperbolehkan mendekati seseorang nan mempunyai penyakit nan berbahaya. Wallahu’alam. 

Selengkapnya
Sumber Info Seputar Islam bincangsyariah
Info Seputar Islam bincangsyariah