– Tidak mudah hidup sebagai seorang Edward Said. Seorang ahli filsafat dengan subyektifitas nan disadarinya retak sejak awal. Lahir sebagai seorang Palestina, tapi hidup, tumbuh dan tinggal di Amerika. Dua realita kontras, mengingat keduanya selalu bersitegang, utamanya dalam silang sengketa perebutan wilayah di medan al-Quds. Palestina nyaris lenyap dari brangkas kesadaran Edward Said.
Edward Said mengaku, lama sekali dia menemukan ke-Palestina-annya. Ayah dan ibunya tidak banyak memberikan info dan suplai kesadaran mengenai Palestina. Bahkan menurut Said, ayahnya condong “membenci Palestina”.
Ada semacam trauma nan membekas tebal dalam diri ayahnya. Di negara tempat seluruh kepercayaan lama itu bertemu, Palestina dan Yerussalem bagi ayah Edward Said tak lebih dari sekedar noktah dan kuburan tempat family dan kerabatnya lenyap dan mati.
Edward Said pun sampai lupa, apa bahasa pertama nan dia ucapkan; Arabkah, alias justru Inggris-Amerika? Persoalan bahasa dan keretakan kesadaran ini diungkap Said dalam halaman-halaman awal otobiografinya, Out of Place.
Dalam kitab nan ditulis unik untuk menyelamatkan ingatannya di tengah jibaku dengan leukimia nan sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya, Edward Said langsung membukanya dengan uraian mengenai entitas subyek nan bingung, mengganda dan terjebak dalam celah lembah nan sangat dalam. Dan memang itulah faktanya. Said tumbuh dalam kondisi dualitas nan kelak bakal menjadi pekerjaan rumah nan menghabiskan waktu seumur hidupnya.
Meskipun begitu, tampaknya Said memang sukses keluar dari labirin. Ia mendaku Palestinanya. Tak hanya itu, dia pun menjadi toa nan paling nyaring berbincang atas nama Palestina di Barat. Said adalah rujukan awal dan pembicara pertama nan diburu warta kala ketegangan di Palestina, ataupun di Timur Tengah, kembali mencapai eskalasinya.
Dalam Out of Place, ada kisah unik gimana Said memperlihatkan akhir dari perjalanannya mendaku “yang Palestina”. Sampai tahun 1998, Said sudah beberapa kali mengunjungi Jerussalem. Selain untuk keperluan akademik dan pekerjaan riset, salah satu niat utama nan selalu Said sisipkan kala berjamu ke Yerussalem adalah napak tilas.
- Advertisement -
Mengunjungi lokasi, bangunan, rumah dan kampung tempat dulu keluarganya tinggal. Meski tak banyak menerima info dari kedua orang tuanya, Said terbiasa mengisi kesadaran Palestinanya dengan caranya sendiri; salah satunya dengan menziarahi tempat-tempat nan dulunya dia kenal sebagai kampung halaman. Yerussalem, Haifa, Tiberias, Nazareth dan Acre, adalah beberapa letak nan giat Said kunjungi.
Selama perjalanan ke Yerussalem, perihal rutin nan dialami Edward Said adalah inspeksi abdi negara Israel. Meskipun hidup dalam otonomi, Palestina sepenuhnya dikontrol oleh petugas keamanan Israel. Termasuk dalam perkara penjagaan perbatasan, checkpoint dan pemeriksaan di bandara. Said pun tak lepas dari pertanyaan-pertanyaan.
Apalagi ketika paspor Amerikanya mengindikasikan jika Said lahir di Yerussalem. Pertanyaan nan paling sering Said terima adalah, “setelah lahir, kapan tepatnya Anda meninggalkan ‘Israel’?” Said selalu meresponsnya dengan, “Saya meninggalkan ‘Palestina’ pada Desember 1947!” ya, Said mengganti kata “Israel” dengan kata “Palestina”. Sebentuk perlawanan nan giat Said lakukan.
Produk pemikiran dan gagasan-gagasan Said pun tidak pernah tidak berangkaian dengan pengalamannya sebagai orang Palestina. Hampir seluruh riset, kitab dan ulasannya mengenai sesuatu, lahir dari amatannya terhadap situasi dan kondisi nan terjadi, khususnya antara Barat dan Timur. Gagasannya tentang nasionalisme, orientalisme, imperialisme dan kebudayaan selalu adalah gambaran geliat dan konstelasi politik nan terjadi di celah Timur-Barat.
Nasionalisme dalam akal Edward Said misalnya, selalu mengenai nasionalisme dalam kontur kebudayaan, dibanding maknanya dalam ranah administratif ataupun politik. Persoalan nan terjadi sekarang mengenaskan; arti nasionalisme nan kedua telah menginjak, mengokupasi dan memonopoli makna nasionalisme nan pertama.
Ada proses penghilangan jejak-jejak sejarah dan keabsahan historikal subyek dalam memaknai asal-muasalnya. Sebagaimana kasus rakyat Palestina nan sekarang menjadi “tak bernegara”, “eksil” dan “pengungsi” di tanah mereka sendiri, nasionalisme nan muncul ke permukaan tak lebih dari hanya sekedar dalih dari praktik kolonialisme.
Begitu juga ketika Edward Said berbincang soal imperialisme, apalagi intelektualisme. Said adalah penganut kepercayaan bahwa seorang intelektual kudu berangkat dari realitas. Teori kudu berpijak para realitas, dan realitas kudu dijadikan dasar setiap perumusan teori.
Orientalisme, nan menjadi magnum opus Said, panjang lebar berbincang soal ekses-ekses kolonialistik dalam kebudayaan di abad modern, termasuk soal rebut-merebut wilayah, baik bentuk maupun mentalitas serta kebudayaan, di bawah kepentingan ekspansi Barat di Timur.
Pasca 1967, Said menghabiskan waktunya untuk mencari solusi atas persoalan Israel-Palestina. Edward Said menegaskan, bahwa solusi paling logis untuk menyelesaikan ketegangan di Palestina adalah “two state solution”.
Namun, pasca “Oslo Accords” nan mempertemukan Mahmud Abbas dan Shimon Peres, tampaknya Edward Said semakin pesimis dengan pendapat “two state solution”. Lebih-lebih ketika Israel tetap melanjutkan ekspansinya ke wilayah-wilayah Palestina, Said semakin percaya bahwa “two state solution” nyaris mencapai titik kematiannya.
NamunEdward Said tidak berhenti. Mengambil inspirasi dari pengalaman Afrika Selatan, Said lantas memikirkan sistem dwi-nasional. Yakni pendapat mengenai “satu negara dua bangsa”. Dengan skema semacam ini, orang Yahudi dan orang Arab bisa hidup berdampingan dalam sistem kerakyatan nan sekuler.
Edward Said percaya, bentrok berkepanjangan di Timur Tengah nan sudah berjalan selama puluhan tahun tidak bakal selesai jika persoalan Palestina juga tak kunjung diselesaikan. Selama Palestina terus membara, Timur Tengah hanya bakal melanjutkan kisahnya sebagai gelanggang pertempuran antar kepentingan.
Sokongan tak terbatas nan diterima Israel dari Amerika Serikat dan sekutu, nan kemudian membuatnya mempunyai kekuatan militer tak terbatas pula, adalah satu perihal dari sekian banyak bukti bahwa pertempuran kepentingan di Timur Tengah tidak hanya tentang bangsa-bangsa Arab dan Timur, tapi juga Barat nan tetap berambisi melanjutkan trah imperialismenya di Timur. Kasus Arab Saudi dan Mesir, dalam banyak hal, juga berangkaian erat dengan problem geopolitik nan melibatkan Palestina.
Edward Said, dengan seluruh pekerjaannya, baik sebagai seorang ahli filsafat maupun aktivis, adalah perwajahan perjuangan panjang pembelaan atas kewenangan kemerdekaan wilayah Palestina. Hidup dan tinggal di Amerika, tempat seluruh kericuhan di Palestina bermula, Said tidak gentar.
Dia tetap bersuara, apalagi berteriak. Sebuah memoar fotograph nan memperlihatkan Edward Said melempar batu ke arah pasukan Israel, adalah potongan mozaik dari parodi panjang Said melemparkan batu ke arah jantung Imperialisme Barat.
Apa nan saya bicarakan tentang Edward Said dan Palestina adalah emosi nan saya tangkup kala membaca otobiografi Said, Out of The Place. Out of Place memang tidak seserius dan seteoritik Orientalism. Ia juga bukan kitab sejarah politik nan mencoba mengisahkan perincian dinamika bentrok di Palestina.
Said tidak menyuguhkan teori aneh-aneh di dalamnya. Meskipun dalam beberapa kitab nan lain—seperti The Question of Palestine—, Edward Said berupaya mengidentifikasi dan mencari jalan penyelesaian, Out of Place jelas-jelas tidak ditujukan untuk itu. Sebaliknya, Out of Place adalah Said sendiri; Said nan bugil dan menganga. Out of Place adalah romantika dialektis nan bertubrukan di sepanjang koridor perjuangan untuk mengentaskan krisis identitas nan Said alami.
Edward Said nan selalu merasa “aneh” dan “asing”, sampai akhirnya dia menemukan Palestina. Pasca penemuannya—yang meskipun Said sadari bakal terus membentuk proses tanpa akhir—, Palestina menjadi totem nan menggerakkan ide-ide dan gagasannya. Said lantas sadar, bahwa keberpihakan pada akhirnya adalah rumusan nan krusial untuk memberi nyawa bagi pendapat dan buahpikiran seseorang.
Kini sejarah pun mengingat, jika Edward Said adalah Palestina dan Palestina adalah Said. Dan mungkin Said tersenyum kala mengetahui itu semua.