– Kita tahu al-Qur’an itu di dalam sejarah Islam awal mulanya memang dihafalkan dan diamalkan. Jadi Rasulullah menjelaskan isi al-Qur’an sekaligus mengamalkan berbareng para sahabat. Itu sebabnya, kesan para sahabat saat itu katanya “Kami tidak sampai melewatkan satu surat pun selain kami menghafal dan mengamalkannya.”
Iya para sahabat hafal dan mengamalkan melalui pengarahan Rasulullah. Tentu saja ada surat-surat nan isinya tidak melulu amal, tapi perintah untuk kita berpikir dan mengamalkan. Alih-alih mengamalkan, rupanya para orientalis mengawasi gimana peradaban Islam bisa maju? Dari mana rahasianya?
Seorang orientalis mencatat bahwa di era dulu al-Qur’an tidak menjadikan orang itu terpelajar. Dengan kata lain bahwa orang hafal al-Qur’an pada waktu itu sudah biasa, bukan kemudian hafal lampau dia menjadi edukatif. Akan tetapi, orang terpelajar dan belajar pengetahuan tanpa al-Qur’an itu tidak pernah terpikirkan.
Dengan demikian, berarti, semua ulama, dulu apapun keahliannya baik itu Matematika, Fisika, Biologi, Astronomi, Filsafat semuanya sudah menghafal al-Qur’an. Bahkan, Ibnu Sina pun konon juga sudah menghafal al-Qur’an sebelum belajar kedokteran dan makulat Islam. Jadi, al-Qur’an selalu mengiringi perjalanan keilmuan para ulama-ulama. Bukan hanya keahlian dalam menghafal, tetapi juga keahlian untuk merujuk al-Qur’an dalam konteks keilmuan.
Ketika bala tentara Islam keluar dari jazirah Arab menuju Persia, Mesir, Spanyol dan lain sebagainya, seorang orientalis membikin konklusi bahwa bala tentara Islam keluar dari jazirah Arab tidak bermodal apapun secara kultural. Artinya, kultur Arab tidak dibawa, tetapi mereka membawa al-Qur’an dan hadits.
Namun, lantaran dinamika di dalam al-Qur’an sangat luar biasa, akhirnya al-Qur’an menjadi sebuah pandangan hidup. Jadi urusan apa-apa selalu mengarah dan merujuk kepada al-Qur’an dan hadits lantaran fikih tetap belum muncul.
Dengan adanya tradisi begitu, maka tumbuhlah Islam di negara-negara di mana orang Islam itu datang. Misalnya, ketika datang ke Baghdad, maka Baghdad menjadi sebuah peradaban pengetahuan pengetahuan nan luar biasa.
Sama. Ketika datang ke Spanyol, nan di sana tata letak dan tata kotanya tidak ada duanya di era itu serta sanitasinya sangat canggih, pada akhirnya mereka juga terinspirasi dengan al-Qur’an dan hadits.
Tidak mungkin mereka tidak terpengaruh. Sebab, di tempat-tempat itu sudah ada manusia-manusia nan berperadaban, hanya saja mereka tidak melakukan seperti apa nan dilakukan oleh orang-orang Islam pada saat itu.
Anda tahu! Dalam kasus makulat Islam, bahwa makulat Yunani awal mulanya dari Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syria (Kristen Ortodok). Jadi, manuskrip saat itu banyak di tangan orang-orang Syria (bukan Syiria nan sekarang). Kemudian dari bahasa Syria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan ada juga dari bahasa Yunani langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Pertanyaannya kenapa ketika di tangan bangsa Syria makulat Islam tidak maju? Namun ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab justru dia menjadi wacana nan sangat produktif dan tidak lagi terikat dengan prinsip-prinsip makulat Yunani?
Rupanya, rahasianya adalah rupanya pandangan hidup bangsa Arab pada waktu itu nan muslim, sudah tercerahkan oleh al-Qur’an. Ketika mendapatkan sesuatu dari peradaban lain, mereka sudah bisa mengolahnya (dari Yunani menjadi berbau Islam).
Dengan adanya al-Qur’an dan hadits sebagai sumber pandangan hidup, secara tidak langsung peradaban Islam memberi makan dan faedah kepada peradaban-peradaban lain di mana Islam itu datang. Ini persis seperti dalam surat Ibrahim ayat 24, Allah Swt. berfirman:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ
Artinya: “Tidakkah Anda memperhatikan gimana Allah telah membikin perumpamaan kalimat nan baik seperti pohon nan baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24).
“Kalimat tayyib” menurut mufasirun adalah kalimat tauhid, dan tauhid adalah inti dari al-Qur’an. Sementara “pohon tayyib” adalah pohon nan akarnya sangat kokoh dan dahannya sampai ke langit.
Jadi peradaban Islam itu ibaratkan pohon nan kokoh nan akarnya tidak bakal tercerabut lantaran kondisi cuaca apapun, dan dahannya sampai ke langit. Artinya, pencapaian umat Islam di dalam sains dan teknologi, termasuk di dalam masalah pemikiran, tidak pernah dicapai oleh bangsa-bangsa nan lain. Jelasnya, Islam datang dengan membawa barakah. Tentu berbeda dengan peradaban Barat sekarang nan kemajuannya justru menghancurkan peradaban manusia sendiri.
Karenanya, jika ditanya kejayaan Islam itu maksudnya apa? Bukankah di era itu banyak orang miskin? Orang-orang sekuler pasti selalu mengatakan demikian. Anda tahu! Bahwa kejayaan Islam tidak diukur dari politik, melainkan diukur dari kemajuan pengetahuan pengetahuan. Di ayat selanjutnya surat Ibrahim ayat 25 dinyatakan, Allah Swt. berfirman:
تُؤْتِيْۤ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ بِۢاِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “(pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membikin perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 25).
Maksudnya adalah memberi makan pada masa-masa tertentu dengan izin Tuhan. Semua perkembangan Islam nan ada di Mesir, Spanyol, Persia, India termasuk di Nusantara ini adalah lantaran izin Tuhan. Wallahu a’lam bisshawab.